BUNDA MANDIKAN AKU SEKALI

bunda
Bunda.......... Mandikan Aku sekali ini saja

Sisca, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. "Why not the best," katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika. Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Sisca termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran.


Berikutnya, Sisca mendapat pendamping yang "selevel"; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Fredel, buah cinta mereka, lahir ketika Sisca diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari tokoh besar, jadilah nama yang enak didengar: Fredel. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.Ketika Fredel, panggilan puteranya itu, berusia 1 bulan, kesibukan Sisca semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, "Tidakkah si Fredel terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? " Dengan sigap Sisca menjawab, "Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!" Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Sisca tinggal mengontrol jadual Fredel lewat telepon.


Fredel tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak. "Contohlah ayah-bunda Fredel, kalau Fredel besar nanti." Begitu selalu nenek Fredel, ibunya Sisca, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.Ketika Fredel berusia 1 tahun, Fredel bercerita kalau dia minta adik.Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Sisca dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Fredel. Lagi-lagi bocah kecil ini "memahami" orang tuanya. Buktinya, kata Sisca, ia tak lagi merengek minta adik.


Fredel, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Sisca, Fredel selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Sisca menyapanya "malaikat kecilku". Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Fredel tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini. Suatu hari, menjelang Sisca berangkat ke kantor, entah mengapa Fredel menolak dimandikan baby sitter. "Fredel ingin Bunda mandikan," ujarnya penuh harap. Karuan saja Sisca, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Fredel sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Fredel agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya.Lagi-lagi, Fredel dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. "Bunda, mandikan aku!" kian lama suara Fredel penuh tekanan. 

Toh, Sisca dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Fredel sedang dalam masa terpengaruh, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Fredel bisa ditinggal juga. Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter."Bu dokter, Fredel demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency." Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Tuhan sudah punya rencana lain. Fredel, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.


Sisca, ketika diberi tahu soal Fredel, sedang meresmikan kantor salon barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya.Setelah pekan lalu Fredel mulai menuntut, Sisca memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri. Dan siang itu, janji Sisca terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. "Ini Bunda Fred, Bunda mandikan Fredel," ucapnya lirih, di tengah Warga Gereja yang sunyi. Satu persatu rekan Sisca menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis. Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara.Berkali-kali Sisca, sahabatku yang tegar itu, berkata, "Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?" Saya diam saja. Rasanya Sisca memang tak perlu hiburan dari orang lain. 

Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. "Ini konsekuensi sebuah pilihan," lanjut Sisca, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja. Tiba-tiba Sisca berlutut. "Aku ibunyaaa!" serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Sisca menangis,lebih-lebih tangisan yang meledak. "Bangunlah Fredel, Bunda mau mandikan Fredel. Beri kesempatan Bunda sekali saja Fred. Sekali saja, Fredeeeeeeellll.." Sisca merintih mengiba-iba.


Detik berikutnya,ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Fredel. Senja pun makin tua. Note: Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong. Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat. Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang2 di dekatnya yang disayangi dan dicintai. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu. Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.


Pelajaran yang sangat menyedihkan.

0 komentar: