SISTEM KESEHATAN PROPINSI JAWA TIMUR

jawa timur

LAMPIRAN KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR
TANGGAL : 29 JANUARI 2007
NOMOR : 188/23/KPTS/013/2007


SISTEM KESEHATAN PROPINSI JAWA TIMUR
BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan di Jawa Timur dilaksanakan dengan mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah dan peraturan-perundangan lain yang berlaku, serta Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur.
Pelaksanaan pembangunan kesehatan tersebut diselenggarakan secara menyeluruh, terarah, merata, bermutu, terjangkau dan berkesinambungan melalui proses yang terintegrasi, didasarkan pada Sistem Kesehatan Nasional (SKN).

Ketetapan MPR RI Nomor X Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan yang mengamanatkan perlu dilakukannya pembaharuan melalui reformasi total kebijakan pembangunan dalam segala bidang, Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang - Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemeritah Pusat dan Pemerintah Daerah, Undang - Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Undang - Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) , KepMenkes RI no.131 tahun 2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional, Undang - Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik serta Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) digunakan sebagai acuan dalam penyusunan berbagai kebijakan, pedoman dan arah pelaksanaan pembangunan kesehatan.

Pada dekade terakhir Propinsi Jawa Timur khususnya dan Indonesia pada umumnya menghadapi berbagai perubahan dan tantangan strategis yang mendasar, baik eksternal maupun internal yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan pembangunan kesehatan. Di era globalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem informasi serta meningkatnya persaingan bebas, mengharuskan masyarakat Jawa Timur meningkatkan daya saing. Di sisi lain peningkatan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan yang di Jawa Timur masih sangat diperlukan.
Untuk mendukung keberhasilan pembangunan kesehatan, disusunlah Sistem Kesehatan Propinsi (SKP) yang akan menjawab dan merespon berbagai tantangan pembangunan kesehatan di Jawa Timur, baik untuk masa kini maupun untuk masa mendatang.

B. Maksud dan Tujuan

SKP Jawa Timur ditetapkan dengan maksud memberikan landasan, arah dan pedoman penyelenggaraan pembangunan kesehatan bagi seluruh penyelenggara pembangunan kesehatan di Propinsi Jawa Timur, kabupaten/kota maupun masyarakat dan dunia usaha serta pihak terkait lainnya. Tujuannya adalah agar pembangunan kesehatan dapat berhasil dan berdaya guna serta bermanfaat bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.


Secara geografis, Propinsi Jawa Timur terletak antara 7.12' – 8.48' Lintang Selatan dan 111' – 114.4' Bujur Timur, dengan batas wilayah :

a. sebelah utara : Laut Jawa
b. sebelah selatan : Samudra Indonesia
c. sebelah timur : Laut Jawa dan Selat Bali
d. sebelah barat : Propinsi Jawa Tengah

Luas Wilayah :
a. luas daratan : 46.428,57 km²
b. luas lautan : 110.000 km²
c. jumlah pulau : 74 buah

2. Wilayah Administrasi Pemerintahan, terbagi dalam :

a. kabupaten : 29
b. kota : 9
c. kecamatan : 654
d. desa/kelurahan : 8.477

3. Kependudukan
Berdasarkan data Pendaftaran Pemilihan dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Jawa Timur Tahun 2006 sebanyak 36.612.348 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 0,77% dengan tingkat kepadatan penduduk 787/km².
Jumlah penduduk miskin Jawa Timur Pada tahun 2004 sebesar 6.979.565 jiwa dan pada tahun 2005 menjadi 10.914.516 jiwa. Pada Tahun angka ini meningkat sebanyak 12.947.484 jiwa (34,92 %) berdasar perhitungan BPS Pusat.

4. Pendidikan Masyarakat
Berdasarkan SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2005) yang dilakukan BPS, angka buta huruf penduduk >10 tahun sebesar 12,59 % dari jumlah penduduk. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk berumur >15 tahun pada tahun 2005 adalah :
a. tidak/belum pernah sekolah ( 13,73%)
b. tidak/belum tamat SD/MI (15,51%)
c. tamat SD/MI (31,78%)
d. tamat SLTP Sederajat (18,37%)
e. tamat SMU Sederajat (16,55%)
f. tamat perguruan tinggi (4,06%)

5. Budaya
Secara garis besar, masyarakat Jawa Timur terbagi menjadi 4 kelompok :
a. budaya Surabaya/Arek
b. budaya Pesisir
c. budaya Kejawen/Mataraman
d. budaya Madura

6. Sosioekonomi
Product Domestic Regional Bruto (PDRB)
Angka PDRB Jawa Timur atas dasar harga berlaku (ADHB) selama kurun waktu lima tahun terakhir (2001-2005) adalah masing-masing Rp. 233.881.585,28 (2001), Rp. 267.157.716,58 (2002), Rp. 300.609.857,98 (2003), Rp. 341.065.251,33 (2004) dan 402.392.698,23 (2005). ( Sumber: Data Makro Sosial dan Ekonomi Jawa Timur 2001 – 2005 )

b. Pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur atas dasar harga konstan’00 tahun 2001 – 2005, pada tahun 2001 sebesar 3.76%, tahun 2002 sebesar 3.80%, tahun 2003 sebesar 4.78%, tahun 2004 sebesar 5.83%, tahun 2005 sebesar 5,84%. ( Sumber: Data Makro Sosial dan Ekonomi Jawa Timur 2001 – 2005 )

B. Gambaran Pembangunan Kesehatan

1. Sarana Kesehatan di Jawa Timur
Jumlah sarana kesehatan tahun 2006 yang ada di Jawa Timur adalah sebagai berikut :
RS Umum Pemerintah : 45
RS Umum Swasta : 58
RS BUMN : 11
RS TNI Polri : 20
RS Khusus Pemerintah : 8
RS Khusus Swasta : 2
Puskesmas : 927
Puskesmas Pembantu : 2.255
Puskesmas Keliling : 955
Posyandu : 43.672
Polindes : 4.927
Laboratorium Kesehatan Daerah : 29
Laboratorium Klinik Swasta : 197
Laboratorium kesehatan lingkungan : 38
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Pencegahan
Penyakit Menular ( BBTKL PPM) : 1
Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) : 1
Balai Kesehatan Mata Masyarakat ( BKMM) : 1
Balai Materia Medica : 1
Balai Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit
Paru (BP4) : 3
Apotek : 1.364
Gudang Farmasi : 38
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (POM) : 1
Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan (P3SKK) : 1
Balai Besar Laboratorium Kesehatan (LabKes) : 1

2. Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan
a. Jumlah tenaga kesehatan tahun 2005 yang ada di Jawa Timur adalah sebagai berikut :
1 Dokter Spesialis : 1,324 orang
2 Magister Kesehatan : 233 orang
3 Dokter : 3,197 orang
4 Dokter Gigi : 1,057 orang
5 Apoteker : 278 orang
6 SKM : 569 orang
7 S.Kp : 210 orang
8 Perawat (Akper) : 6,009 orang
9 Perawat (SPK): 6,996 orang
10 Bidan : 8,235 orang
11 Sanitarian : 602 orang
12 Paramedis lain : 7,304 orang

b. Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan :
Fakultas Kedokteran (FK) : 6
Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) : 3
Fakultas Farmasi (FF) : 3
Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) : 1
Akademi Perawat (AKPER) : 47
Akademi Kebidanan (AKBID) : 22
Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) : 3
Akademi Analis Kesehatan (AKK) : 5
Akademi Gizi (AKZI) : 3
Akademi Kesehatan Gigi (AKG) : 1
Akademi Teknik Elektro Medik (ATEM) : 1
Akademi Farmasi & Makanan (AKFARMA) : 3
Akademi Farmasi (AKFAR) : 2
Akademi Refraksi Optisi (ARO) : 1
Akademi Teknis Gizi (ATG) : 1
Akademi Fisioterapi (AKFIS) : 1
Akademi Perekam Informasi Kesehatan (APIKES) : 1
Akupuntur : 2
Sekolah Menengah Farmasi (SMF) : 5
Sekolah Menengah Analis Kesehatan (SMAK) : 1
Sekolah Pengatur Rawat Gigi (SPRG) : 1


3. Program Kesehatan
a. Upaya Kesehatan
Pada hakekatnya Pelayanan Kesehatan di Jawa Timur belum menyeluruh, merata, bermutu dan terjangkau secara berkesinambungan, karena pelayanan kesehatan yang diberikan belum memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat. Disamping itu pelayanan kesehatan belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat karena penyebarluasan tenaga kesehatan yang belum merata, serta peralatan kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan lainnya masih belum mencukupi. Dilain pihak upaya kesehatan yang kompleks belum sepenuhnya mempertimbangkan pola lingkungan, pembiayaan dan manajemen yang berpengaruh pada pembangunan kesehatan.
Puskesmas sebagai penanggung jawab dan pelaksana upaya kesehatan masyarakat strata pertama di wilayah kerjanya yang terdepan mempunyai beban yang berat dalam melaksanakan fungsinya. Puskesmas yang di tahun 2006 berjumlah 927, masih belum mencukupi dibanding dengan jumlah penduduk sesuai konsep wilayah (1 puskesmas untuk 30.000 penduduk), sehingga masih diperlukan sekitar 200 puskesmas untuk Jawa Timur.
Jawa Timur merupakan daerah yang rawan dengan berbagai jenis bencana baik bencana karena alam ( banjir, tanah longsor, gunung meletus, kekeringan, luapan lumpur panas, dan lain - lain) maupun bencana yang ditimbulkan karena manusia ( kecelakaan lalu lintas, kebakaran, ledakan pabrik, dan lain - lain). Pada tahun 2005 terjadi 90 kejadian bencana dengan korban 11 orang meninggal dunia dan 1 luka - luka. Sedangkan pada tahun 2006 terjadi 15 kejadian bencana dengan korban meninggal sebanyak 103 orang dan 66 luka - luka. Jumlah korban yang banyak karena terseret banjir bandang.
Masih tingginya korban yang luka maupun meninggal akibat kejadian bencana, secara umum menunjukkan kurang optimalnya sistem manajemen penanganan bencana. Walaupun beberapa kabupaten/kota telah mempunyai Tim Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan yang merupakan bagian Tim Satlak di kabupaten/kota, namun dalam implementasinya masih belum optimal
Indikator keberhasilan derajat kesehatan masyarakat masih belum menggembirakan. Hal ini berdasarkan data Sensus Tahun 2000 dan Susenas Tahun 2000, bahwa Angka Kematian Ibu (AKI)168 per 100.000 Kelahiran Hidup, dan Angka Kematian Bayi (AKB) 34 per 1000 Kelahiran Hidup dan Umur Harapan Hidup (UHH) 68,47 tahun (BPS 2005). Hal ini sangat dipengaruhi oleh Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Kegawatdaruratan (UKKD). Pelayanan kesehatan ibu dan anak serta Keluarga Berencana (KB) belum mencapai target Standar Pelayanan Minimal (SPM). Persentase Pemeriksaan Ibu Hamil Empat Kali (K4) 79,45% ( tahun 2005) ; Persalinan Nakes sebesar 86.10% ( tahun 2005 ); Kunjungan Neonatal Tiga Kali (KN2) sebesar 87,61% ( tahun 2005 ); Peserta KB Baru sebesar 70.15% ( tahun 2005 ). Masalah gizi buruk masih cukup banyak sekitar 2,2 % pada balita, sedangkan anemia gizi terjadi sekitar 29,9 % ibu hamil. Jawa Timur juga masih mempunyai masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) dengan Total Goiter Rate (TGR) 16,3 % pada tahun 1999 dan meningkat menjadi 25,5 % tahun 2004. Kekurangan vitamin A dikhawatirkan juga masih menjadi masalah walaupun belum tersedia data terbaru yang mendukung. Oleh karena itu masih diperlukan kegiatan terobosan dengan memberdayakan masyarakat dan pelatihan teknis bagi petugas kesehatan di lapangan.
Sampai Tahun 2005, Universal Child Immunization (UCI) desa baru mencapai 40,4% sehingga masih ada kantong-kantong yang rawan untuk terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi ( PD3I ). Disamping itu dengan semakin meningkatnya penggunaan vaksin untuk imunisasi, kemungkinan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) juga meningkat. Ditemukannya vaksin beku di lapangan merupakan indikator bahwa kualitas dan potensi vaksin masih memerlukan perhatian yang serius.
KLB penyakit maupun keracunan makanan masih sering terjadi di Jawa Timur dan baru sekitar 60% yang dilaporkan ke propinsi. Dengan lemahnya Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) di kabupaten/kota dikhawatirkan KLB yang terjadi tidak dapat segera terdeteksi dan ditanggulangi dengan benar.
Pada beberapa tahun terakhir ini telah terjadi transisi epidemiologi pola penyakit di masyarakat, penyakit infeksi yang berbasis lingkungan seperti Tuberkulosis (TB), Malaria, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Diare, Kusta, Demam Berdarah Dengue (DBD), Chikungunya dan lainnya belum tuntas dapat ditanggulangi, penyakit non-infeksi seperti Hipertensi, Stroke, Diabetes Mellitus (DM), Jantung, dan lainnya cenderung meningkat dengan cepat, ditambah dengan munculnya penyakit-penyakit infeksi seperti SARS, Flu Burung, Anthrax dan lain-lain. Hal ini akan memberi beban ganda bagi pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan menanggulanginya.
Terjadi peningkatan insiden rate penyakit DBD dari 12,01 per 100.000 penduduk pada tahun 2003 menjadi 23,50 per 100.000 penduduk pada tahun 2004 dan pada tahun 2005 menjadi 43,06 per 100.000 penduduk. Salah satu penyebabnya adalah kepadatan vektor penular masih cukup tinggi, dan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) masih belum memasyarakat. Pada awal tahun 2004 Gubernur Jawa Timur mencanangkan pembentukan Juru Pemantau Jentik (jumantik) di seluruh wilayah Jawa Timur sebagai upaya terobosan untuk melakukan kewaspadaan dini terjadinya peningkatan jumlah penderita DBD pada masa mendatang.
Propinsi Jawa Timur merupakan urutan ke dua untuk kasus HIV/AIDS (Human Immuno Defisiency Virus/Acquired Immuno Defisiency Syndroms) di Indonesia dan diperkirakan ada 17 sampai 44 ribu kasus HIV. Di 12 kabupaten/kota sudah masuk ke level konsentrasi, sehingga penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS harus lebih ditingkatkan dan diperluas jangkauan programnya. Dari kasus AIDS yang dilaporkan 55% ber faktor risiko pengguna narkoba suntik (penasun).
Masalah kesehatan lingkungan yang sangat mendasar antara lain pada tahun 2005 pemanfaatan air bersih yang sehat masih berkisar 87,5% dan penggunaan jamban masih sekitar 59,5%, sedangkan pencemaran udara dan kebisingan di permukiman cenderung meningkat. Disamping itu pembuangan limbah industri yang tidak terkontrol terhadap badan air menyebabkan terjadinya akumulasi logam-logam berat yang terkandung di dalamnya.
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai penanggungjawab upaya kesehatan masyarakat (UKM) strata kedua telah banyak mengembangkan puskesmas rawat inap sebagai sarana rujukan dan puskesmas spesifik sesuai spesifikasi yang ada di wilayah kerja seperti puskesmas nelayan, puskesmas jalan raya dan lain-lain.
Penyelenggaraan upaya kesehatan di wilayah kabupaten/kota direncanakan, dikendalikan, diawasi dan dipertanggung jawabkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Banyak pedoman dan produk hukum tentang penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat yang telah disusun dan dipergunakan sebagai petunjuk teknis atau acuan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan di kabupaten/kota antara lain Keputusan Gubernur Nomor 27 Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan, Perda Nomor 5 Tahun 2004 tentang HIV/AIDS.
Upaya kesehatan perorangan (UKP) strata pertama tersebar sampai ke pelosok, mulai dari pelayanan pengobatan tradisional, praktik bidan, praktik perawat, praktik dokter / dokter gigi, puskesmas, dan lain-lain.
Pemanfaatan Rumah Sakit (RS) sebagai UKP strata kedua seperti RS pemerintah, swasta, TNI/POLRI dan BUMN masih belum optimal ( rata-rata BOR sebesar 54,77% ) karena pelayanan yang diberikan belum memadai. Disisi lain diperlukan adanya bentuk pelayanan unggulan sebagai pusat rujukan UKP strata ke tiga karena adanya kecenderungan meningkatnya penyakit degeneratif (jantung, hipertensi, diabetes, dan lainya)
Berdasarkan standar klasifikasi pelayanan gawat darurat di rumah sakit telah ditetapkan klasifikasi Unit Pelayanan Gawat Darurat yang terdiri dari Upaya Pelayanan Gawat Darurat Dasar, Pratama, Madya dan Utama yang nantinya akan sangat berguna untuk menentukan klasifikasi unit pelayanan gawat darurat rumah sakit di Propinsi Jawa Timur, sehingga akan didapatkan pemetaan klasifikasi pelayanan gawat darurat yang memudahkan pola/sistem rujukan kasus gawat darurat. Disamping itu telah dikembangkan Desa Siaga, yang merupakan desa yang memiliki kesiapan sumberdaya dan kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan bencana secara mandiri dalam rangka mewujudkan Desa Sehat. Dengan adanya Desa Sehat, masyarakat menjadi sehat , peduli dan tanggap terhadap masalah-masalah kesehatan. Untuk tujuan pengembangan Desa Siaga semua petugas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan dan kader dilatih untuk melakukan tindakan kegawatdaruratan bencana serta akhir tahun 2006 Jawa Timur mempunyai tugas mengembangkan 5.000 Desa Siaga yang terbagi dalam berbagai tingkatan mulai Bina , Tumbuh, Kembang dan Paripurna.

b. Pembiayaan Kesehatan
Penggalian dana sektor kesehatan diperoleh dari sumber dana APBD, APBN atau sumber lain. Dana yang bersumber dari APBD Propinsi Tahun 2006 untuk kesehatan sebesar Rp. 170.332.933.000,- atau sekitar 6,96 % dari total APBD Propinsi Tahun 2006 ( Rp. 2.448.712.621.974,- ). APBD propinsi untuk kesehatan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan APBN sebesar Rp 412.858.622.000,-. Sedangkan data total APBD Tahun 2006 di 38 kabupaten/kota kurang lebih Rp 250.000.000.000,-.
Pada umumnya anggaran tersebut digunakan untuk mendukung pelayanan kesehatan di kabupaten/kota secara langsung maupun tidak langsung. Namun permasalahannya adalah mekanisme perencanaan melalui sitem musrenbang belum sepenuhnya dapat mensinergikan antara APBN dan APBD sehingga relatif belum sinkron atau belum saling mendukung satu sama lain sehingga dalam pemanfaatannya kemungkinan terjadi tumpang tindih antar kegiatan
Pembiayaan kesehatan dari masyarakat dan perorangan termasuk swasta sampai dengan saat ini cukup besar, namun belum dapat teridentifikasi secara jelas sehingga kontribusinya dalam pembangunan kesehatan belum dapat diperhitungkan secara kuantitatif.
Pengalokasian dana dari pemerintah belum sepenuhnya mengacu kepada kebijakan atau kesepakatan yang berlaku. Sebagai contoh anggaran tersebut lebih diprioritaskan untuk upaya kuratif yang tidak sesuai dengan Paradigma Sehat dan Standar Pelayanan Monimal (SPM). Disamping itu anggaran yang ada cenderung untuk pembelanjaan upaya yang bersifat investasi dan operasional, namun belum memperhitungkan biaya pemeliharaan.
Komitmen nasional maupun daerah untuk pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin perlu diprioritaskan, dan pada tahun 2006 alokasi dari pusat relatif meningkat dibanding tahun sebelumnya. Kebijakan nasional telah membebaskan biaya pengobatan di rawat jalan dan perawatan di kelas III rumah sakit serta di puskesmas. Disamping itu sejak semester II tahun 2005 telah dialokasikan biaya untuk operasional puskesmas meskipun masih relatif kecil serta alokasi dana untuk safeguarding dari Program Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (ASKESKIN).
Saat ini di Jawa Timur selain PT. ASKES Persero, Jamsostek, ASABRI dan Taspen yang pembentukannya berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) terdapat 5 Badan Pelaksana (Bapel) berizin Departemen Kesehatan dan PraBapel yang telah menyelenggarakan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Namun saat ini alokasinya masih relatif kecil. Masyarakat yang ikut dalam jaminan pemeliharaan kesehatan masih sangat terbatas atau sekitar 32% di Jawa Timur dimana sebagian besar adalah masyarakat miskin yang dijamin pemerintah.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan pola penyakit dan mobilitas penduduk akan berdampak pada peningkatan pembiayaan kesehatan. Disamping itu peningkatan angka kesakitan terutama penyakit menular antara lain TBC, DBD, HIV/AIDS belum dapat dikendalikan dengan baik. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya beban pembiayaan pemerintah dan masyarakat. Disamping itu pembangunan berwawasan kesehatan belum sepenuhnya dilaksanakan karena belum memperhitungkan risiko terhadap lingkungan maupun kesehatan yang pada akhirnya juga akan meningkatkan pembiayaan kesehatan.
Secara geografis Jawa Timur merupakan daerah rawan bencana dan rawan kecelakaan. Sampai saai ini pembelanjaan untuk upaya kesehatan kegawatdarutan belum terencana dan terkoordinasi dengan baik, sehingga mempengaruhi pembelanjaan lain yang sudah direncanakan.
Pembiayaan peningkatan sumberdaya manusia, penyediaan obat dan perbekalan kesehatan dan subsistem lain sebagai pendukung utama dalam upaya kesehatan belum mencukupi.

c. Sumberdaya Manusia Kesehatan
Perencanaan ketenegagaan merupakan upaya cermat untuk mengindentifikasi kebutuhan komposisi tenaga kesehatan, namun saat ini belum dapat dilaksanakan sesuai dengan standar kebutuhan pembangunan kesehatan, karena belum adanya sistem informasi manajemen SDM Kesehatan yang memadai. Hal ini disebabkan masih lemahnya koordinasi dalam pengelolaan data SDM Kesehatan antara propinsi, kabupaten/kota, institusi pendidikan serta organisasi profesi.
Institusi pendidikan tenaga kesehatan di Jawa Timur saat ini jumlah dan jenisnya belum berorientasi pada kebutuhan pembangunan kesehatan, sehingga jumlah kelulusan tenaga kesehatan jenis tertentu lebih banyak / kurang dibanding dengan kebutuhan yang berakibat menumpuknya kelulusan dan disisi lain kekurangan tenaga kesehatan.
Penyerapan lulusan pendidikan tenaga kesehatan masih rendah, karena lemahnya kemampuan daya serap pasar dalam negeri, sedangkan pengiriman dan pemanfaatan tenaga kesehatan ke luar negeri belum memenuhi standar kompetensi negara tujuan. Untuk mengatasi hal ini perlu adanya pengaturan dan koordinasi yang lebih intensif tentang pendirian dan peningkatan kualitas institusi pendidikan tenaga kesehatan dengan pihak-pihak terkait. Adanya kompetisi dalam era pasar bebas sebagai akibat dari globalisasi harus diantisipasi dengan peningkatan mutu dan profesionalisme. SDM Kesehatan dan menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Pendayagunaan SDM kesehatan belum sesuai dengan kebutuhan, hal ini disebabkan karena keterbatasan pemerintah dalam mengangkat SDM Kesehatan baik dalam hal jumlah mapupun jenis sebagai PNS Kesehatan, Pegawai Tidak Tetap (PTT). Sedangkan penempatan tenaga kesehatan di daerah-daerah tertentu belum merata dalam jumlah, jenis dan kualifikasi yang dibutuhkan. Sebagai contoh, di Kabupaten Sampang 1 tenaga medis melayani 14.285 penduduk, sedangkan di Kota Madiun 1 tenaga medis melayani 2.857 penduduk.
Pemanfaatan tenaga kesehatan di sarana pelayanan kesehatan belum sepenuhnya sesuai dengan latar belakang pendidikannya, sehingga perlu penataan kembali pemanfaatan tenaga kesehatan sesuai dengan fungsinya.
Kebijakan peningkatan karier SDM Kesehatan dikelompokkan per sasaran karier, jalur karier, perencanaan karier, pengembangan karier. Adapun jalur karier perlu dikembangkan secara optimal antara lain melalui jalur swasta atau pengangkatan dalam jabatan fungsional. Sedangkan untuk effisiensi yang memacu penampilan kerja SDM Kesehatan diperlukan sistem pengembangan karier yang merangsang kompetisi yang sehat dan rasa keadilan yang terbuka.
Penempatan, pembinaan, pengawasan SDM Kesehatan di sektor swasta pada saat ini belum optimal, disebabkan karena masih lemahnya sistem yang mengatur dan tim yang menangani.

d. Obat dan Perbekalan Kesehatan
Pada era otonomi daerah, pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang semula menjadi tanggung jawab dan kewenangan Gudang Farmasi Kabupaten/Kota (GFK) dengan tenaga yang berkompetensi dan profesional, menjadi tidak menentu dan beragam bentuknya. Pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang saat ini ditangani kabupaten/kota secara langsung belum didukung tenaga yang sesuai dan belum terkoordinasi.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) belum ditindaklanjuti dengan Daftar Obat Esensial Propinsi (DOEP) sebagai pedoman dalam pengadaan obat esensial kabupaten/kota.
Tingkat ketersediaan obat pada tahun 2005 sudah tercapai 89,58% dari target SPM 100%. Pengadaan obat essensial pada tahun 2005 sebesar 91,30% dari target 100%. Pengadaan obat generik tahun 2005 mencapai 86,21% dari target 100%. Pelayanan penggunaan obat generik di sarana pelayanan kesehatan pemerintah tahun 2005 sebesar 63,64% dari target 90%. Hal tersebut belum memenuhi Peraturan Menteri Kesehatan Repbublik Indonesia Nomor 085 Tahun 1989 tentang Kewajiban Menulis Resep dan atau Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah.
Obat dan perbekalan kesehatan yang telah rusak, kadaluwarsa dan tidak layak dikonsumsi pada tahun 2004 telah dimusnahkan sebanyak 54 item dari 77 item yang ada di gudang propinsi.
Produsen obat dan perbekalan kesehatan dalam pendistribusiannya kepada konsumen masih ada yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan penatalaksanaan pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang meliputi tatacara, sarana dan prasarana penunjang belum terkoordinasi antara pemerintah propinsi dengan kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengamanan mutu obat dan perbekalan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, organisasi profesi, dan masyarakat belum optimal serta terjadi tumpang tindih kewenangan antara Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan dengan pemerintah propinsi.
Pelayanan obat belum sepenuhnya mengacu pada Penggunaan Obat Secara Rasional (POSR) yang diikuti dengan komunikasi informasi dan edukasi.
Kasus keracunan obat, perbekalan kesehatan dan makanan yang terjadi pada tahun 2004 terjadi 41 kasus dengan jumlah korban 1.503 orang. Pada Tahun 2005 terjadi 40 kasus dengan jumlah penderita 963 orang. Masyarakat sampai saat ini belum memanfaatkan pelayanan Sentra Informasi Keracunan (SIKer) secara optimal.
Penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif (Napza) lainnya merupakan masalah nasional yang menimbulkan kerugian di segala bidang termasuk kesehatan. Di Jawa Timur dilakukan upaya pencegahan dan penanggulangan secara terpadu dengan melibatkan berbagai unsur.
Penyuluhan dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Napza (P3-Napza) berbasis masyarakat dalam SPM ditargetkan sebesar 15%, pada tahun 2005 dicapai 9,19%. Pencegahan kebocoran peredaran narkotika psikotropika sesuai dengan peraturan perundang-undangan melalui program Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP).
Budidaya dan pemanfaatan obat asli Indonesia belum dikembangan secara optimal. Kerja sama pengembangan dan pemanfaatan obat asli Indonesia telah dilakukan melalui suatu program penelitian dan pengembangan dengan melibatkan berbagai unsur terkait, antara lain Balai Materia Medika, Sentra Penelitian Pengembangan Pengobatan Tradisional (Sentra P3T), perguruan tinggi, pihak swasta dan peran serta masyarakat.
Penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan masih didapati bercampur dengan perbekalan perkantoran dan bukan pada gudang khusus, serta belum dikelola oleh tenaga yang berkompeten dan profesional.
Masyarakat yang memanfaatkan SIKer untuk memperoleh informasi tentang efek samping dan keracunan obat, perbekalan kesehatan serta makanan, untuk itu pada tahun 2005 masyarakat menyampaikan 26 pertanyaan dan tahun 2006 sebanyak 34 pertanyaan.

e. Pemberdayaan Masyarakat
Keberhasilan pembangunan kesehatan di Jawa Timur tidak terlepas dari partisipasi masyarakat. Untuk itu, berbagai bentuk upaya kesehatan berbasis masyarakat banyak tumbuh dan berkembang, antara lain Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) pada tahun 2005 berjumlah 43.672 buah yang berarti rata-rata 1 posyandu melayani 800 penduduk, dari rasio ideal 1 posyandu untuk 750 penduduk. Strata posyandu terbanyak adalah tingkat madya (41,63%). Sedangkan posyandu purnama mandiri kini mencapai 27,79%.
Kader sebagai penggerak posyandu saat ini juga makin menurun jumlahnya. Saat ini rata-rata rasio kader terhadap posyandu adalah 4,35 orang yang idealnya 1 Posyandu dikelola 5 orang kader.
Selain itu pada tahun 2005 terdapat 4.977 Pondok Bersalin Desa (Polindes), hal ini berarti telah memenuhi 61,60% dari jumlah desa di Jawa Timur. Walaupun secara kuantitatif jumlah polindes tersebut sudah mencukupi, secara kualitatif kondisinya belum seluruhnya memenuhi syarat sebagai tempat pertolongan persalinan. Hal ini tergambar dari tingkat perkembangan polindes yang terbanyak masih pada tingkat pratama sebesar 51,88%. Pemenuhan prasarana-sarana Polindes sesuai standar secara bertahap dilakukan dengan dana APBD propinsi, APBD kabupaten/kota, kas desa dan sebagian dari upaya mandiri dari bidan di desa.
Pada saat Hari Kesehatan Nasional Tahun 2006 , Propinsi Jawa Timur telah mulai mengembangkan 5.000 desa siaga yan merupakan wujud kepedulian- kesiapsiagaan masyarakat dalam menanggapi masalah terkait kesehatan , bencana dan kegawatdaruratan yang lain.
Untuk mendukung upaya pengobatan tradisional di masyarakat hingga tahun 2005 telah ada 23.799 pengobat tradisional yang tercatat, di mana pada tahun 2004 hanya tercatat 22.715 orang. Dengan demikian rasio pengobat tradisional dibanding penduduk adalah 1 : 1.498. Pengobat tradisional terbanyak yang tercatat adalah jamu gendong sebanyak 6.605 orang (27,77%). Terdapat 3.136 toga percontohan di desa (37,02%) dari seluruh desa di Jawa Timur tidak ada perbedaan dibandingkan tahun sebelumnya (39,13%). Hal ini menunjukkan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam upaya kesehatan secara tradisional.
Hasil survei Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan 10 indikator sesuai SPM (Standar Pelayananan Minimal) menunjukkan 1,78% Rumah Tangga Sehat (tahun 2004), sedangkan pada tahun 2005 meningkat menjadi 7% dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 12,2%.
Pembinaan Kader Generasi Muda melalui gerakan Pramuka Satuan Karya Bakti Husada (SBH) pada tahun 2005 telah berkembang di 293 kecamatan atau kuartir ranting. Jumlah tersebut merupakan 44,8% dari kecamatan di Jawa Timur. Adapun jumlah anggotanya sebanyak 24.280 orang atau rata-rata 83 orang di tiap-tiap kuartir ranting. Kegiatan SBH ini utamanya di daerah rural/pedesaan telah secara nyata memberikan sumbangan bagi keberhasilan pembinaan generasi muda di bidang kesehatan.
Pos Upaya Kesehatan Kerja (UKK) baru mencapai 412 buah pada tahun 2005 dengan jumlah kelompok sebanyak 17.279 dari jumlah pekerja 353.477 orang. Hal tersebut menggambarkan rata-rata pekerja dalam satu kelompok berjumlah 20 orang yang idealnya maksimal 15 orang. Intensitas pembinaan UKK masih dibutuhkan karena masih rendahnya pemahaman masyarakat pekerja terhadap upaya promotif dan preventif kesehatan.
Dalam memberikan pelayanan kepada para santri di pondok pesantren, pada tahun 2005 telah terbentuk 826 Pos Kesehatan Pesantren (20.2%) dari 4.075 ponpes yang tercatat di Dinas Kesehatan se-Jawa Timur dimana sebagian dikelola oleh dokter. Selain itu juga telah dikembangkan Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) yang menjadi pusat upaya – upaya kesehatan di pondok pesantren dengan didukung para Santri Husada.
Kepesertaan dana sehat sebagai wujud keberdayaan masyarakat dalam kemandirian pembiayaan kesehatan tahun 2005 telah diikuti oleh 1.110.984 jiwa. Gambaran ini menunjukkan masih rendahnya pemahaman, keberdayaan masyarakat dalam penerapan JPKM.
Seiring dengan perkembangan pembangunan di Jawa Timur tahun 2005 telah tumbuh 203 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan serta berbagai yayasan peduli kesehatan seperti Yayasan Kanker Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, Koalisi Jawa Timur Sehat, Kelompok Peduli Diabetes, Kelompok Peduli Kanker, Waria Peduli HIV/ AIDS, Forum Kesehatan Reproduksi serta berbagai kelompok peduli lainnya yang kini mulai berkembang di Jawa Timur.
Dalam rangka mempercepat tercapainya Indonesia Sehat pemberdayaan masyarakat dilaksanakan dalam berbagai bentuk gerakan seperti: Gerdunas TB, Gerakan PSN dengan Jumantiknya, Gerakan Sayang Ibu (GSI) dengan 52,62% kecamatan Sayang Ibu yang berpredikat madya, Aliansi Pita Putih (Kesehatan Ibu), BPNA (Badan Penanggulangan Narkotika dan AIDS), Forum Kabupaten / Kota Sehat dan lain sebagainya.
Jaringan kemitraan antara sektor pemerintah, organisasi profesi, LSM, swasta dan dunia usaha belum dikembangkan secara optimal, baru terbatas pada penyampaian informasi, belum ada keterpaduan dalam mencapai tujuan yaitu derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Salah satu kendala yang banyak mempengaruhi terhadap belum optimalnya pemberdayaan masyarakat adalah lemahnya tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi di bidang promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Saat ini di setiap jenjang pelayanan kesehatan dan administrasi tugas ini dijalankan secara rangkap oleh petugas yang tidak memliki kompetensi standar.


f. Manajemen Kesehatan
Kebijakan desentralisasi memberikan kewenangan kepada daerah untuk menyusun perencanaan daerah sedangkan propinsi berfungsi sebagai fasilitator. Perencanaan sangat penting artinya untuk suatu keberhasilan pembangunan kesehatan, namun saat ini belum terkoordinasi dan tersinkronisasi dengan baik. Pada kenyataannya perencanaan belum sepenuhnya terpadu dan mengacu kepada kebijakan yang berlaku dan kebutuhan spesifik daerah. Pencapaian kinerja pembangunan kesehatan pelaksanaan dan pengendaliannya belum mengacu pada perencanaan yang telah disusun dan SPM Kesehatan Kabupaten/Kota.
Laporan dari masing-masing kabupaten/kota belum semuanya dapat dipenuhi, secara kuantitas maupun kualitas karena dalam era desentralisasi tidak ada kewajiban kabupaten/kota untuk menyampaikan laporan ke Dinas Kesehatan Propinsi.
Pengawasan Melekat (Waskat), Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), sebagai bagian pertanggungjawaban pembangunan kesehatan belum dilakukan secara optimal.
Sistem informasi kesehatan masih terfragmentasi dan identik dengan pencatatan dan pelaporan, dimana banyak sekali format pencatatan dan pelaporan yang harus dikerjakan oleh puskesmas dan rumah sakit. Profil kesehatan kab/kota maupun propinsi sudah berjalan sejak tahun 1990, namun belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai dasar pengambilan keputusan. Inpres RI. No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Goverment untuk mendukung upaya pemanfaatan teknologi informasi diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, transparansi, serta akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 36 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Telematika Propinsi Jawa Timur adalah upaya untuk mempercepat pengembangan sistem informasi berbasis komputer. Dinas Kesehatan Propinsi sedang mengembangkan jaringan sistem informasi internal maupun eksternal melalui teknologi informasi (file transfer protokol, Website, LAN) dan penetapan perangkat data minimal pada setiap jenjang administrasi.
Penelitian dan pengembangan Iptek belum dilaksanakan secara optimal dan hasilnya belum dimanfaatkan untuk perencanaan pengembangan program, karena penelitian dan pengembangan kesehatan dilakukan oleh berbagai program dan sektor yang belum terkoordinasi. Disamping itu pengelolaan dan penyebarluasan hasil penelitian masih terbatas, karena terbatasnya sumber daya sehingga sulit diakses oleh pihak yang membutuhkan.
Kebijakan otonomi daerah berakibat adanya perubahan kewenangan daerah di bidang kesehatan, sehingga memerlukan penyesuaian produk hukum daerah (Perda) untuk mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Adanya kecenderungan gugatan dan tuntutan hukum berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan, karena belum dilakukan penyuluhan di bidang hukum kesehatan yang memadai.
Ketidaksesuaian produk hukum daerah di bidang kesehatan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat diakibatkan karena belum adanya jaringan informasi dan dokumentasi hukum bidang kesehatan yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam penyusunan produk hukum di bidang kesehatan.
Penegakan hukum di bidang kesehatan belum dapat dilaksanakan secara optimal, karena belum berfungsinya peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan belum adanya badan khusus yang menangani.



BAB III
POKOK-POKOK SISTEM KESEHATAN PROPINSI
JAWA TIMUR


A. Pengertian Sistem Kesehatan Propinsi
SKP Jawa Timur adalah suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya pemerintah, masyarakat, dan swasta di Jawa Timur yang terpadu dan saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
SKP menguraikan secara spesifik unsur-unsur upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, SDM Kesehatan, sumber daya obat, perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, serta manajemen kesehatan sesuai dengan potensi dan kondisi daerah.

B. Landasan Sistem Kesehatan Propinsi
SKP merupakan bagian dari pembangunan nasional, dengan demikian landasan SKP adalah sama dengan landasan pembangunan nasional. Secara lebih spesifik, landasan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Landasan idiil yaitu Pancasila
2. Landasan Konstitusional yaitu UUD 1945
a. Pasal 28 A ; setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
b. Pasal 28 B ayat (2); setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang.
c. Pasal 28 C ayat (1); setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
d. Pasal 28 H ayat (1); setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal , dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan ayat ( 3 ); setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
e. Pasal 34 ayat ( 2); negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan dan ayat (3); negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak .
3. Landasan operasional :
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
b. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
c. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2005 tentang Praktik Kedokteran Dokter dan Dokter Gigi
d. Peraturan Daerah Nomor 37 Tahun 2000 tentang Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur
e. Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2002 tentang Rumah Sakit Propinsi
f. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik


C. Prinsip Dasar Sistem Kesehatan Propinsi
Prinsip dasar SKP adalah norma, nilai, dan aturan pokok yang bersumber pada falsafah dan budaya bangsa Indonesia, yang digunakan sebagai acuan berpikir dan bertindak dalam penyelenggaraan SKP. Prinsip-prinsip dasar tersebut meliputi :
1. Perikemanusiaan
Penyelenggaraan SKP berdasarkan pada perikemanusiaan yang dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Terabaikannya pemenuhan kebutuhan kesehatan adalah bertentangan dengan prinsip kemanusiaan. Tenaga kesehatan dituntut untuk tidak diskriminatif serta selalu menerapkan prinsip-prinsip perikemanusiaan dan menyelenggarakan upaya kesehatan.
2. Hak Asasi Manusia
Penyelenggaraan SKP berdasarkan pada prinsip hak asasi manusia. Diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi setiap orang adalah salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku, golongan, agama, dan status sosial ekonomi. Setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
3. Adil dan Merata
Penyelenggaraan SKP berdasarkan pada prinsip adil dan merata. Dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, perlu diselenggarakan upaya kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat secara adil dan merata, baik geografis maupun ekonomis.
4. Pemberdayaan dan Kemandirian Masyarakat
Penyelenggaraan SKP berdasarkan pada prinsip pemberdayaan dan kemandirian masyarakat. Setiap orang dan masyarakat bersama dengan
pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat beserta lingkungannya. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan harus berdasarkan pada kepercayaan atas kemampuan dan kekuatan sendiri, kepribadian bangsa, semangat solidaritas sosial, dan gotong royong.
5. Kemitraan
Penyelenggaraan SKP berdasarkan pada prinsip kemitraan. Pembangunan kesehatan harus diselenggarakan dengan menggalang kemitraan yang dinamis dan harmonis antara pemerintah dan masyarakat termasuk swasta, dengan mendayagunakan potensi yang dimiliki. Kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat termasuk swasta serta kerja sama lintas sektor dalam pembangunan kesehatan diwujudkan dalam suatu jaringan yang berhasil guna dan berdaya guna agar diperoleh sinergi yang lebih mantap dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang se tinggi - tingginya.
6. Pengutamaan dan Manfaat
Penyelenggaraan SKP berdasarkan pada prinsip pengutamaan dan manfaat. Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan perorangan maupun golongan. Upaya kesehatan yang bermutu dilaksanakan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta harus lebih mengutamakan pendekatan peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pembangunan kesehatan diselenggarakan secara berhasil guna dan berdaya guna, dengan mengutamakan upaya kesehatan yang mempunyai daya ungkit tinggi agar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat beserta lingkungannya.
7. Tata Kepemerintahan yang Baik
Pembangunan kesehatan diselenggarakan secara demokratis, berkepastian hukum, transparan, rasional, profesional, serta bertanggung jawab.

D. Tujuan Sistem Kesehatan Propinsi
Tujuan SKP adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasil guna, sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.





E. Kedudukan Sistem Kesehatan Propinsi
1. Sistem Kesehatan Propinsi (SKP) merupakan infrasistem dari SKN, bersama dengan berbagai sistem lain yang ada di Jawa Timur, diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jawa Timur.
2. SKP merupakan acuan Sistem Kesehatan Kabupaten/Kota (SKK). SKK perlu dikembangkan untuk menjamin keberhasilan pembangunan kesehatan di kabupaten/kota. Dalam kaitan ini kedudukan SKP merupakan suprasistem dari SKK.

F. Kedudukan SKP terhadap berbagai Sistem Kemasyarakatan termasuk Swasta
Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh dukungan sistem nilai dan budaya masyarakat yang secara bersama terhimpun dalam berbagai sistem kemasyarakatan. Di pihak lain, berbagai sistem kemasyarakatan merupakan bagian integral yang membentuk SKP. Dalam kaitan ini SKP merupakan bagian dari sistem-sistem kemasyarakatan yang digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan perilaku dan lingkungan sehat serta peran aktif masyarakat dalam berbagai upaya kesehatan. Sebaliknya, sistem nilai dan budaya yang hidup di masyarakat harus mendapat perhatian dalam SKP.
Keberhasilan pembangunan kesehatan juga ditentukan oleh peran aktif swasta. Dalam kaitan ini potensi swasta merupakan bagian integral dari SKP. Untuk keberhasilan pembangunan kesehatan, perlu digalang kemitraan yang setara, transparan, dan saling menguntungkan dengan berbagai potensi swasta. SKP harus dapat mewarnai potensi swasta sehingga sejalan dengan tujuan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan.


G. Subsistem SKP
Subsistem pertama SKP adalah upaya kesehatan yang terdiri dari berbagai upaya kesehatan dengan menghimpun seluruh potensi yang ada untuk dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan tersebut memerlukan dukungan
dana, SDM , sumber daya obat, dan perbekalan kesehatan.
Dukungan dana sangat berpengaruh terhadap pembiayaan kesehatan yang semakin penting dalam menentukan kinerja SKP. Mengingat kompleksnya pembiayaan kesehatan, pembiayaan kesehatan merupakan subsistem kedua SKP.
Sebagai upaya pelaksana kesehatan diperlukan sumber daya manusia yang mencukupi dalam jumlah, jenis, dan kualitasnya sesuai dengan tuntutan kebutuhan pembangunan kesehatan. Oleh karena itu SDM Kesehatan juga sangat penting dalam meningkatkan kinerja SKP dan merupakan subsistem ketiga SKP.
Sumber daya kesehatan lainnya yang penting dalam menentukan kinerja SKP adalah sumber daya obat dan perbekalan kesehatan. Permasalahan obat dan perbekalan kesehatan sangat kompleks karena menyangkut aspek mutu, harga, khasiat, keamanan, ketersediaan, dan keterjangkauan bagi konsumen kesehatan. Oleh karena itu, obat dan perbekalan kesehatan merupakan subsistem ke empat SKP.
Selanjutnya, SKP akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh pemberdayaan masyarakat. Masyarakat termasuk swasta bukan semata–mata sebagai objek pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting agar masyarakat termasuk swasta dapat mampu dan mau berperan sebagai perilaku pembangunan kesehatan. Sehubungan dengan itu, pemberdayaan masyarakat merupakan subsistem kelima SKP.
Untuk menggerakkan pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna, diperlukan manajemen kesehatan. Peranan manajemen kesehatan adalah koordinasi, integrasi, sinkronisasi serta penyerasian upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, manajemen kesehatan merupakan subsistem ke enam SKP.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa SKP terdiri atas enam subsistem, yakni :
1. Subsistem Upaya Kesehatan
2. Subsistem Pembiayaan Kesehatan
3. Subsistem Sumber Daya Manusia Kesehatan
4. Subsistem Obat dan Perbekalan Kesehatan
5. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat
6. Subsistem Manajemen Kesehatan .



BAB IV
SUBSISTEM UPAYA KESEHATAN

Upaya meningkatkan kesejahteraan umum berarti suatu usaha untuk mewujudkan tingkat kehidupan masyarakat secara optimal yang memenuhi kebutuhan dasar manusia termasuk kesehatan. Pada dasarnya kesehatan menyangkut semua segi kehidupan, baik perorangan, keluarga, kelompok maupun masyarakat. Upaya kesehatan dilaksanakan secara menyeluruh, merata, bermutu dan terjangkau secara berkesinambungan dengan menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif yang didukung oleh upaya kuratif dan rehabilitatif. Upaya kesehatan yang luas dan kompleks perlu senantiasa mempertimbangkan pola lingkungan, pembiayaan dan manajemen yang berpengaruh pada pembangunan kesehatan.

A. Pengertian
Subsistem upaya kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya kesehatan masyarakat, upaya kesehatan perorangan, dan upaya kesehatan kegawatdaruratan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

B. Tujuan
Terselenggaranya upaya kesehatan yang merata, bermutu dan terjangkau secara berkesinambungan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

C. Unsur-unsur Utama
Subsistem upaya kesehatan terdiri atas tiga unsur utama, yakni :
1. Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat serta swasta untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan di masyarakat. UKM mencakup upaya promosi kesehatan, pemeliharaan kesehatan, pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, pengendalian penyakit tidak menular, kesehatan jiwa, penyehatan lingkungan dan penyediaan sanitasi dasar, perbaikan gizi masyarakat, pengamanan obat dan perbekalan kesehatan, pengamanan penggunaan zat aditif (bahan tambahan makanan), pengamanan makanan, pengamanan narkotika, psikotropika, zat adiktif dan bahan berbahaya, serta penanggulangan bencana dan bantuan kemanusiaan.
2. Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, swasta dan atau pemerintah, untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan. UKP mencakup upaya-upaya promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan rawat jalan, pengobatan rawat inap, pembatasan dan pemulihan kecacatan yang ditujukan terhadap perorangan. Upaya Kesehatan Perorangan termasuk pengobatan tradisional dan alternatif serta pelayanan kebugaran fisik dan kosmetika.
3. Upaya Kesehatan Kegawatdaruratan (UKKD) adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat serta swasta untuk penanganan semua kegawatdaruratan secara terpadu, dengan melibatkan berbagai disiplin, profesi dan sektor.

Ketiga upaya kesehatan tersebut bersinergi dan didukung sistem rujukan serta dilengkapi sarana penunjang. Sarana penunjang UKM antara lain laboratorium kesehatan masyarakat, sediaan farmasi, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan lainnya. Sarana penunjang UKP antara lain laboratorium klinik dan penunjang diagnostik lainnya, apotek, optik, dan toko obat. Sarana penunjang UKKD antara lain transportasi dan komunikasi.

D. Prinsip
Penyelenggaraan Subsistem Upaya Kesehatan mengacu pada :
1. Kebijakan dan regulasi pemerintah serta diikuti pemantapan pola manajemen dan pembiayaan pada setiap strata.
2. Bersifat menyeluruh, terpadu, merata, bermutu, terjangkau, dan berjenjang secara berkesinambungan yang didukung oleh sub sistem lain.
3. Sesuai dengan nilai dan norma sosial budaya masyarakat, moral dan etika profesi.
4. Diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat dan swasta dengan memperhatikan fungsi sosial.
5. Penanggungjawab upaya kesehatan adalah pemerintah setempat sesuai kewenangannya.
6. Penyelenggaraan semua jenis upaya kesehatan tidak bertentangan dengan kaidah ilmiah.
7. Penyelenggaraan kegawatdaruratan mengacu pada Sistem Penanganan Gawat Darurat Terpadu ( SPGDT ) dan Safe Community.


E. Bentuk Pokok
1. Upaya Kesehatan Masyarakat
Bentuk pokok upaya kesehatan masyarakat meliputi :
a. Upaya kesehatan masyarakat strata pertama
UKM strata pertama adalah UKM tingkat dasar yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan dasar ditujukan kepada masyarakat.
UKM strata pertama diselenggarakan oleh puskesmas dan bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya.
Terdapat tiga fungsi utama puskesmas, yakni sebagai (1) pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, (2) pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan (3) pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama.
Puskesmas wajib melaksanakan 6 (enam) pelayanan kesehatan dasar, yakni promosi kesehatan; kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana; perbaikan gizi; kesehatan lingkungan; pencegahan dan pemberantasan penyakit menular; dan pengobatan dasar. Selain itu puskesmas dapat melaksanakan pelayanan kesehatan pengembangan berdasarkan permasalahan kesehatan setempat yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Peran aktif masyarakat dan swasta dalam penyelenggaraannya diwujudkan dalam bentuk upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat misalnya posyandu, poskesdes, poskestren dan lain-lain.

b. Upaya kesehatan masyarakat strata kedua
UKM strata kedua adalah UKM tingkat lanjut, yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik ditujukan kepada masyarakat.
Penyelenggara UKM strata kedua adalah pemerintah, masyarakat dan swasta dengan penanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang mempunyai dua fungsi utama, yakni fungsi manajerial dan fungsi teknis kesehatan.
Fungsi manajerial mencakup perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian, pemantauan, pengawasan, dan penilaian, serta pertanggung-jawaban penyelenggaraan pembangunan kesehatan di kabupaten/kota. Fungsi teknis kesehatan mencakup penyediaan pelayanan kesehatan masyarakat tingkat lanjut, yakni dalam rangka melayani kebutuhan rujukan kesehatan masyarakat. Yang dimaksud dengan rujukan kesehatan masyarakat adalah pelimpahan wewenang dan tanggung jawab atas masalah kesehatan masyarakat yang dilakukan secara timbal balik, baik vertikal maupun horizontal. Rujukan kesehatan masyarakat dibedakan atas tiga aspek, yakni: rujukan sarana, rujukan teknologi, dan rujukan operasional.
Untuk dapat melaksanakan fungsi teknis kesehatan, beberapa Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dilengkapi dengan berbagai kegiatan teknis antara lain: promosi kesehatan, pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, laboratorium kesehatan lingkungan dan pelayanan sediaan farmasi, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan lainnya.

c. Upaya kesehatan masyarakat strata ketiga
UKM strata ketiga adalah UKM tingkat unggulan, yaitu yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan subspesialistik yang ditujukan kepada masyarakat.
Penanggung jawab UKM strata ketiga adalah Dinas Kesehatan Propinsi yang mempunyai dua fungsi utama, yakni fungsi manajerial dan fungsi teknis kesehatan.
Fungsi manajerial mencakup perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian, pemantauan, pengawasan, dan penilaian, serta pertanggung-jawaban penyelenggaraan pembangunan kesehatan di propinsi. Fungsi teknis kesehatan mencakup penyediaan pelayanan kesehatan masyarakat tingkat unggulan melalui UPT untuk pelayanan langsung dan kebutuhan rujukan dari kabupaten/kota dan propinsi.
Untuk dapat melaksanakan fungsi teknis kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi dilengkapi dengan berbagai unit pelaksana teknis antara lain BP4, RS Paru, RS Kusta, BKMM dan Balai Materia Medika, yang menyelenggarakan pelayanan langsung dan membantu pelayanan rujukan kesehatan.
Dalam rangka pengembangan UKM perlu diperhatikan :
1. Pemerataan UKM yang terdiri dari 2 faktor utama yaitu pemerataan pelayanan (sarana dan prasarana, sumber daya manusia kesehatan, peralatan kesehatan) dan pembiayaan (investasi, operasional dan pemeliharaan)
2. Peningkatan mutu UKM melalui standarisasi sumber daya manusia kesehatan, prosedur tetap, obat, alat kesehatan dan gedung dengan memperhatikan jaminan mutu serta penilaian kinerja terhadap institusi, akreditasi dan perijinan.
3. Keterjangkauan UKM yang didukung adanya pelayanan kesehatan baik yang bersifat statis maupun dinamis dengan sasaran prioritas keluarga miskin, kelompok risiko tinggi dan kelompok rentan di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan dengan melakukan koordinasi lintas program dan lintas sektor yang didukung peran aktif masyarakat.

2. Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)
Bentuk pokok upaya kesehatan perorangan meliputi :
a. Upaya kesehatan perorangan strata pertama
UKP strata pertama adalah UKP tingkat dasar, yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan dasar ditujukan kepada perorangan.
Penyelenggara UKP strata pertama adalah perorangan, masyarakat, swasta, dan pemerintah, dalam bentuk antara lain : praktik bidan, praktik perawat, praktik dokter, dokter keluarga, praktik dokter gigi, poliklinik, balai pengobatan, rumah bersalin, puskesmas, pelayanan pengobatan tradisional dan alternatif, kebugaran fisik, kosmetika dan lain-lain.
b. Upaya kesehatan perorangan strata kedua
UKP strata kedua adalah UKP tingkat lanjut, yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik ditujukan kepada perorangan.
Penyelenggara UKP strata kedua adalah perorangan, masyarakat, swasta dan pemerintah dalam bentuk antara lain: praktik dokter/dokter gigi spesialis, klinik spesialis, dan rumah sakit rujukan strata kedua baik pemerintah maupun swasta.
c. Upaya kesehatan perorangan strata ketiga
UKP strata ketiga adalah UKP tingkat unggulan yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan subspesialistik ditujukan kepada perorangan.
Penyelenggara UKP strata ketiga adalah perorangan, masyarakat, swasta dan pemerintah dalam bentuk antara lain praktik dokter subspesialis, pusat pelayanan unggulan (pusat unggulan jantung , pusat unggulan kanker, pusat penanggulangan stroke) dan rumah sakit rujukan strata ketiga baik pemerintah maupun swasta.
Dalam rangka pengembangan UKP perlu diperhatikan :
1. Pemerataan UKP yang terdiri dari 2 faktor utama yaitu pemerataan pelayanan (sarana dan prasarana, sumber daya manusia kesehatan, peralatan kesehatan) dan pembiayaan (investasi, operasional dan pemeliharaan)
2. Peningkatan mutu UKP melalui standarisasi sumber daya manusia kesehatan, prosedur tetap, obat, alat kesehatan dan gedung dengan memperhatikan jaminan mutu serta penilaian kinerja terhadap institusi, akreditasi dan perijinan.
3. Keterjangkauan UKP yang perlu didukung adanya pelayanan kesehatan baik yang bersifat statis maupun dinamis dengan sasaran prioritas keluarga miskin, kelompok risiko tinggi dan kelompok rentan di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan dengan melakukan koordinasi lintas program dan lintas sektor yang didukung peran aktif masyarakat.

3. Upaya Kesehatan Kegawat Daruratan (UKKD)
Bentuk pokok upaya kesehatan kegawatdaruratan meliputi :
a. Upaya kesehatan kegawatdaruratan strata pertama
UKKD strata pertama adalah kegiatan terpadu penanganan kegawatdaruratan yang dilakukan oleh masyarakat, swasta dan pemerintah. Penanggungjawab UKKD strata pertama adalah puskesmas.
b. Upaya kesehatan kegawatdaruratan strata kedua
UKKD Strata kedua adalah kegiatan terpadu penanganan kegawatdaruratan yang dilakukan oleh swasta dan pemerintah pada tingkat rujukan strata kedua yang didukung masyarakat. Penanggungjawab UKKD strata kedua adalah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
c. Upaya kesehatan kegawatdaruratan strata ketiga
UKKD Strata Ketiga adalah kegiatan terpadu penanganan kegawatdaruratan yang dilakukan oleh swasta dan pemerintah pada tingkat rujukan strata ketiga yang didukung masyarakat. Penanggungjawab UKKD strata ketiga adalah Dinas Kesehatan Propinsi.
Pelaksanaan kegawatdaruratan di strata kesatu, kedua dan ketiga perlu didukung sarana dan prasarana yang memadai antara lain : sumber daya manusia, perangkat UGD, alat komunikasi dan alat transportasi dalam rangka mekanisme rujukan secara berkesinambungan baik pada keadaan gawat darurat sehari-hari maupun bencana.
Dalam pelaksanaan UKKD pemberdayaan masyarakat menjadi sesuatu yang penting untuk menuju “safe community”, yaitu terciptanya suatu keadaan sehat dan aman yang melibatkan peran serta aktif seluruh masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia, yang harus diimplementasikan bersama oleh pemerintah dan masyarakat yang menjamin kesama-rataan, kesinambungan, efisiensi dan mutu demi kelangsungan pembangunan menuju derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
UKKD dalam melakukan kegiatan koordinasi harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Secara kelembagaan sektor kesehatan merupakan bagian dari Satuan pelaksana penanggulangan bencana dan pengungsi di tingkat propinsi dan satuan koordinasi pelaksanaan penanggulangan bencana dan pengungsi di tingkat kabupaten/kota.
2. Kesiapsiagaan pencegahan maupun mitigasi dilaksanakan bersama sektor terkait.
3. Setiap strata harus mempunyai rencana kontingensi.
Dalam rangka pengembangan UKKD perlu diperhatikan :
1. Pemerataan UKKD yang terdiri dari 2 faktor utama yaitu pemerataan pelayanan ( sarana dan prasarana, sumber daya manusia
kesehatan, peralatan kesehatan) dan pembiayaan (investasi, operasional dan pemeliharaan).
2. Peningkatan mutu UKKD melalui standarisasi sumber daya manusia kesehatan, prosedur tetap, obat, alat kesehatan dan gedung dengan memperhatikan jaminan mutu serta penilaian kinerja terhadap institusi, akreditasi dan perijinan.
3. Keterjangkauan UKKD yang didukung adanya pelayanan kesehatan baik yang bersifat statis maupun dinamis dengan sasaran prioritas keluarga miskin, kelompok risiko tinggi dan kelompok rentan di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan dengan melakukan koordinasi lintas program dan lintas sektor yang didukung peran aktif masyarakat.


BAB V
SUBSISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN

A. Pengertian
Subsistem Pembiayaan Kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan sumber daya keuangan secara terpadu dan saling mendukung untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

B. Tujuan
Tujuan subsistem pembiayaan kesehatan adalah tersedianya pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara berdaya guna dan berhasil guna, untuk terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

C. Unsur-unsur Utama
Subsistem pembiayaan kesehatan terdiri atas tiga unsur utama, yakni :
1. Penggalian dana merupakan kegiatan menghimpun dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan pembangunan kesehatan, baik yang bersumber dari pemerintah, swasta, masyarakat dan sumber lain.
2. Pengalokasian dana merupakan penetapan peruntukan dan penggunaan dana sesuai kebutuhan.
3. Pembelanjaan merupakan pemakaian dana yang telah dialokasikan sesuai dengan peruntukan secara berdaya guna dan berhasil guna.

D. Prinsip
Penyelenggaraan subsistem pembiayaan kesehatan mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Upaya penggalian dana dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pengalokasian dana didasarkan pada paradigma sehat, komitmen global/nasional/regional, regulasi dan program-program prioritas.
3. Pembiayaan kesehatan yang bersumber dari pemerintah diarahkan untuk pembiayaan penyelenggaraan upaya kesehatan yang strategis dan lebih mengutamakan keluarga miskin dan rentan.
4. Dengan telah diundangkannya SJSN, penggalian dana dan penggunaannya dapat dilakukan melalui mekanisme asuransi sosial dalam bentuk jaminan kesehatan daerah sebagai bagian integral dari Sistem Jaminan Sosial Daerah (SJSD).
5. Pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin dan rentan diupayakan melalui pembiayaan kesehatan pra upaya dengan premi dibayar pemerintah (pusat, propinsi maupun kabupaten/kota).
6. Pembiayaan kesehatan yang bersumber masyarakat dan swasta diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan secara pra upaya atau dalam bentuk lainnya dilaksanakan dengan prinsip solidaritas sosial yang wajib dan sukarela.
7. Semua pembiayaan bidang kesehatan digunakan dengan tujuan untuk mendukung peningkatan upaya kesehatan yang merata, bermutu, terjangkau dan berkelanjutan.
8. Pembelanjaan harus transparan, akuntabel, efisien dan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E. Bentuk Pokok
1. Penggalian Dana
Hal yang harus diperhatikan dalam penggalian dana meliputi :
a. Dana bersumber pemerintah berasal dari APBN, APBD Propinsi, APBD Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 15% untuk sektor kesehatan dari total anggaran pendapatan dan belanja setiap tahunnya.
b. Dana bersumber masyarakat berasal dari perorangan, kelompok, swasta dan sumber lain dikelola oleh badan penyelenggara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pengalokasian Dana
Hal yang harus diperhatikan dalam pengalokasian dana meliputi :
a. Pengalokasian dana bersumber pemerintah dilakukan sesuai dengan peraturan dan prosedur yang berlaku, dengan pembagian yang memadai/proposional yang mengacu pada kesepakatan pencapaian program-program prioritas global, nasional dan regional/spesifik daerah, dengan memperhatikan aspek kebutuhan dan kewajaran.
b. Pengalokasian dana mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif
c. Pengalokasian dana berdasarkan perencanaan dengan memperhitungkan biaya pemeliharaan dan hasil evaluasi program.
d. Pengalokasian dana dari masyarakat dipergunakan untuk UKM, UKP dan UKKD atau sesuai dengan musyawarah berdasarkan atas asas gotong royong.

3. Pembelanjaan
a. Pembelanjaan kesehatan untuk :
1) Biaya operasional digunakan untuk pembiayaan kegiatan-kegiatan semua subsistem.
2) Biaya investasi digunakan untuk pembiayaan sarana, prasarana dan tenaga pendukung yang diperlukan untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan semua subsistem.
3) Biaya pemeliharaan digunakan untuk pembiayaan pemeliharaan sarana dan prasarana serta peningkatan kemampuan sumber daya manusia agar terjaga kualitasnya untuk mendukung kegiatan-kegiatan semua subsistem sehingga dapat dilaksanakan secara berkesinambungan.
b. Pembelanjaan dana yang bersumber masyarakat dan swasta untuk :
1) Biaya operasional pelayanan kesehatan, pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana, serta biaya pelaksanaan kegiatan lainnya.
2) Peningkatan pelayanan kesehatan bagi tenaga kerja dan perbaikan lingkungan serta kesehatan masyarakat sekitarnya.
3) Mendukung fungsi sosial pada sarana pelayanan kesehatan swasta.



BAB VI
SUBSISTEM SUMBERDAYA MANUSIA KESEHATAN


A. Pengertian
Subsistem Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya perencanaan, pendidikan dan pelatihan, serta pendayagunaan SDM kesehatan secara terpadu dan saling mendukung, dalam rangka tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
SDM kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan profesional di bidang kesehatan, baik yang tidak memiliki maupun yang memiliki pendidikan formal kesehatan diantaranya adalah Tenaga Kesehatan.
Tenaga kesehatan yang memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan

B. Tujuan
Tersedianya SDM Kesehatan yang bermutu, cukup, merata, dan dimanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

C. Unsur-unsur Utama
Subsistem SDM Kesehatan terdiri dari tiga unsur utama, yakni:
1. Perencanaan sumber daya manusia kesehatan merupakan upaya penetapan jenis, jumlah, dan kualifikasi sumber daya manusia kesehatan sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan :
a. Jenis tenaga kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Jumlah SDM Kesehatan berdasar pada perhitungan rencana kebutuhan dengan metode terpilih.
c. Kualifikasi SDM Kesehatan menurut jenjang pendidikan sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan dengan metode terpilih.
2. Pendidikan dan pelatihan SDM Kesehatan merupakan upaya pengadaan, peningkatan kinerja, profesionalisme dan atau penunjang pengembangan karier tenaga kesehatan.
3. Pendayagunaan SDM Kesehatan merupakan upaya pengangkatan, penempatan, pemanfaatan, pemerataan, pembinaan dan pengawasan.



D. Prinsip
Penyelenggaraan subsistem SDM Kesehatan mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Pengadaan SDM Kesehatan sesuai dengan perencanaan yang mencakup jumlah, jenis dan kualifikasinya sesuai kebutuhan pembangunan kesehatan serta dinamika pasar di dalam maupun di luar negeri.
2. Pendidikan dan pelatihan SDM Kesehatan diarahkan pada penguasaan ilmu dan teknologi serta etika profesi sesuai dengan nilai dan norma yang diselenggarakan secara berkelanjutan dengan melibatkan organisasi profesi.
3. Pendayagunaan SDM Kesehatan memperhatikan asas pemerataan pelayanan kesehatan, kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat maupun SDM Kesehatan.
4. Pendayagunaan tenaga kesehatan dalam upaya pemerataan pelayanan kesehatan dapat dilakukan baik oleh pemerintah melalui pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) / Pegawai Tidak Tetap (PTT) maupun swasta melalui masa bakti cara lain.
5. Pengembangan karier dilaksanakan secara obyektif, transparan, berdasarkan prestasi kerja, dan disesuaikan dengan kebutuhan.
6. Pembinaan masyarakat yang bekerja di bidang kesehatan diarahkan pada penguasaan keterampilan sesuai dengan nilai dan norma.
7. Pembiayaan pengelolaan SDM Kesehatan yang meliputi : Perencanaan, Pendidikan dan Pelatihan serta Pendayagunaan dapat dibiayai APBN, APBD, Swasta yang diatur dalam Sub Sistem Pembiayaan Kesehatan.

E. Bentuk Pokok
1. Perencanaan SDM Kesehatan
Merupakan program yang bertujuan meningkatkan mutu manajemen SDM Kesehatan dalam menentukan jumlah, jenis dan kualifikasi sesuai kebutuhan
pembangunan kesehatan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan SDM Kesehatan adalah :
a. Perencanaan SDM Kesehatan memerlukan sistem informasi manajemen SDM Kesehatan (SIM-SDMKes) antara propinsi, kabupaten/kota, institusi pendidikan, organisasi profesi dan institusi pengguna SDM kesehatan agar sesuai kebutuhan, yang dalam pelaksanaannya perlu dibentuk unit pengelola data berkedudukan di Dinas Kesehatan Propinsi dan selanjutnya dikembangkan di kabupaten/kota.
b. Kebutuhan SDM Kesehatan, baik jenis, jumlah, maupun kualifikasi dirumuskan dan ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan masukan dari Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi (MTKP) yang merupakan badan yang mempunyai sifat otonom, non struktural dibentuk oleh gubernur dan bertanggung jawab kepada gubernur, berkedudukan di propinsi dengan keanggotaan terdiri dari berbagai pihak terkait, antara lain organisasi profesi, forum komunikasi institusi pendidikan tenaga kesehatan, masyarakat profesi, tokoh masyarakat yang konsen dengan bidang kesehatan.

2. Pendidikan dan Pelatihan SDM Kesehatan
Merupakan program yang bertujuan meningkatkan mutu, kinerja dan profesionalisme SDM Kesehatan sesuai jumlah, jenis yang dibutuhkan. Untuk pendidikan dan pelatihan SDM Kesehatan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
a. Pendirian institusi pendidikan dan pembukaan program studi dibidang kesehatan harus memperhatikan mutu, keseimbangan antara kebutuhan, produksi dan pendayagunaan SDM Kesehatan serta kepastian bahwa secara finansial tidak mengakibatkan beban tambahan bagi pemerintah.
b. Standar pendidikan vokasi, sarjana, dan profesi tingkat pertama ditetapkan oleh asosiasi institusi pendidikan tenaga kesehatan yang bersangkutan, sedangkan standar pendidikan profesi tingkat lanjutan ditetapkan oleh kolegium profesi yang bersangkutan.
c. Penyelenggara pendidikan vokasi, sarjana, dan profesi tingkat pertama adalah institusi pendidikan tenaga kesehatan yang telah diakreditasi oleh badan akreditasi yang berwenang. Penyelenggara pendidikan profesi tingkat lanjutan adalah institusi berbasis pendidikan dan institusi berbasis rumah sakit yang telah diakreditasi oleh kolegium profesi yang bersangkutan.
d. Peningkatan mutu SDM Kesehatan yang bekerja di institusi kesehatan perlu diselenggarakan melalui kalakarya, pelatihan teknis dan fungsional menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
e. SDM Kesehatan yang akan dikirim ke luar negeri perlu pelatihan khusus untuk mendapatkan kompetensi yang sesuai dengan negara tujuan, menjadi tanggung jawab pemerintah propinsi.
f. Pengendalian mutu institusi pendidikan dan pelatihan, antara lain melalui akreditasi pada dasarnya untuk bimbingan menuju suatu institusi diklat kesehatan yang bermutu.
g. Penyelenggara pelatihan tenaga kesehatan dilakukan oleh berbagai pihak yang telah terakreditasi oleh Pusdiklatkes/Badan Pendidikan Pelatihan Propinsi/Dinas Kesehatan Propinsi, dengan menggunakan pedoman penyelenggaraan pelatihan di bidang kesehatan dari Departemen Kesehatan.
h. Sertifikasi lulusan pendidikan tenaga kesehatan dilakukan oleh institusi pendidikan tenaga kesehatan tersebut.
i. Tenaga kesehatan non medis lulusan Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan Jawa Timur dilakukan registrasi administrasi (bukti lapor) oleh Dinas Kesehatan Propinsi sesuai dengan ketentuan Departemen Kesehatan RI dan bagi lulusan tenaga kesehatan medis registrasi dilakukan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
j. Uji kompetensi bagi lulusan tenaga kesehatan non medis dilakukan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi (MTKP) untuk mendapatkan sertifikat kompetensi dan bagi lulusan tenaga kesehatan medis uji kompetisi dilakukan oleh kolegium masing-masing dengan menggunakan pedoman dan metode tertentu.

3. Pendayagunaan SDM Kesehatan
Merupakan program yang bertujuan mengangkat, menempatkan, membina dan mengawasi SDM Kesehatan menurut jumlah, jenis, kualifikasi sesuai kebutuhan. Pada pendayagunaan SDM Kesehatan, hal-hal yang harus diperhatikan meliputi :
a. Pengangkatan SDM Kesehatan pada sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah propinsi dan kabupaten/kota menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

b. Khusus untuk pengangkatan tenaga kesehatan strategis pada sarana pelayanan kesehatan propinsi, kabupaten/kota dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan propinsi.

c. Pengangkatan tenaga kesehatan di propinsi maupun kabupaten/kota dapat dilakukan dengan cara : pengangkatan sebagai PNS, sistem kontrak kerja (PTT pusat, PTT daerah, dengan cara lain) dengan memprioritaskan pemerataan didaerah sangat terpencil, terpencil, tertinggal, maupun daerah tidak diminati serta mempertimbangkan faktor demografi dan budaya masyarakat setempat.

d. Penempatan tenaga kesehatan strategis PNS dan PTT pada sarana pelayanan kesehatan pemerintah ditetapkan oleh Gubernur atas rekomendasi Tim Penempatan Tenaga Kesehatan Strategis yang terdiri dari unsur Biro Kepegawaian Propinsi, Dinkes Propinsi, Organisasi Profesi, Rumah Sakit Pendidikan, Arsada dan Adinkes.

e. Penempatan tenaga kesehatan strategis baik dalam melaksanakan masa bakti maupun selesai masa bakti pada sarana pelayanan kesehatan swasta ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota dengan rekomendasi Tim Penempatan Tenaga Kesehatan Strategis dan melibatkan asosiasi terkait.

f. Pemanfaatan SDM Kesehatan di sarana kesehatan agar mempertimbangkan : fasilitas sarana kesehatan yang ada, pengembangan sarana pelayanan kesehatan, program spesifik lokal daerah dan kesesuaian latar belakang pendidikan SDM Kesehatan, profesi serta kompetensinya.

g. Peningkatan karier melalui jalur karier dan pengembangan karier dapat dilakukan melalui pengangkatan dalam jabatan struktural, fungsional serta peningkatan pendidikan dan pelatihan sesuai kebutuhan organisasi kesehatan baik di dalam maupun di luar kabupaten/kota, propinsi maupun pusat.

h. Pengiriman Tenaga Kesehatan non PNS Keluar Negeri (TKKI) diselenggarakan oleh suatu lembaga khusus yang dibentuk oleh gubernur terdiri dari unsur Dinas Kesehatan, Disnaker dan Imigrasi dengan mengikut sertakan Penyelenggara Jasa Tenaga Kerja Kesehatan Indonesia (PJTKKI ).

i. Pengiriman dan penempatan tenaga kesehatan PNS propinsi pada sarana pelayanan kesehatan di luar negeri diselenggarakan oleh lembaga khusus dengan mengalihkan terlebih dahulu status PNS daerah menjadi PNS pusat.

j. Pendayagunaan sumber daya manusia kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri, harus mengikuti program adaptasi yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan yang direkomendasi oleh organisasi profesi terkait.

k. Pendayagunaan SDM Kesehatan asing di sarana kesehatan propinsi dan kabupaten/kota harus sesuai undang - undang yang berlaku.

l. Pembinaan dan pengawasan SDM Kesehatan dikoordinasi oleh Dinas Kesehatan Propinsi dengan melibatkan organisasi profesi dan asosiasi terkait.

m. Pembinaan dan pengawasan praktik profesi dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi.

n. Pendayagunaan tenaga masyarakat di bidang kesehatan dilakukan secara terpadu oleh Dinas Kesehatan Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Masyarakat.




BAB VII
SUBSISTEM OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN


A. Pengertian
Subsistem obat dan perbekalan kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya guna menjamin ketersediaan, pemerataan, mutu dan keamanan obat dan perbekalan kesehatan secara terpadu dalam rangka tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

B. Tujuan
Tersedianya obat dan perbekalan kesehatan, yang merata, bermutu, aman, bermanfaat dan terjangkau serta melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan obat dan perbekalan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

C. Unsur-unsur Utama
Subsistem obat dan perbekalan kesehatan terdiri atas lima unsur utama, yakni :
1. Ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan upaya pemenuhan kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan sesuai dengan jenis, jumlah dan ketepatan waktu.
2. Pemerataan obat dan perbekalan kesehatan merupakan penyebaran obat dan perbekalan kesehatan secara merata dan berkesinambungan, sehingga mudah diperoleh dan terjangkau oleh masyarakat.
3. Pengawasan dan pengamanan mutu obat dan perbekalan kesehatan merupakan upaya menjamin khasiat / manfaat, keamanan serta keabsahan obat dan perbekalan kesehatan sesuai standar mutu sejak dari produksi hingga pemanfaatannya serta dampak bahaya yang mungkin ditimbulkan.
4. Pencegahan, penanggulangan penyalahgunaan Napza lainnya.
5. Pengembangan obat asli Indonesia dilaksanakan melalui penelitian dan pengembangan, untuk dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan formal.

Kelima unsur tersebut bersinergi dan ditunjang dengan teknologi, sumber daya manusia, manajemen, dan pembiayaan untuk optimalisasi upaya kesehatan.

D. Prinsip
Penyelenggaraan subsubsistem obat dan perbekalan kesehatan mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Obat dan perbekalan kesehatan merupakan komoditas khusus yang mempunyai fungsi sosial sehingga tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas ekonomi semata dan harus tersedia, terjangkau, bermutu serta aman.

2. Pemerintah mengendalikan harga obat dan perbekalan kesehatan, tidak sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar serta tidak boleh dipromosikan secara berlebihan dan menyesatkan.

3. Penyediaan obat mengutamakan obat esensial generik bermutu melalui optimalisasi industri obat dalam negeri.

4. Penyediaan perbekalan kesehatan harus sesuai dengan standar kualitas yang berlaku.

5. Pengembangan dan peningkatan obat asli Indonesia ditujukan agar diperoleh obat tradisional yang bermutu tinggi, aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas.

6. Pengamanan obat dan perbekalan kesehatan diselenggarakan mulai dari tahap produksi, distribusi dan pemanfaatan.

7. Ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan termasuk narkotika dan psikotropika golongan tertentu, pengelolaannya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E. Bentuk Pokok
1. Upaya ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan
Dalam bentuk pokok ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan, yang harus diperhatikan adalah :
a. Perencanaan kebutuhan obat pelayanan kesehatan dasar (PKD) dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dengan koordinasi pemerintah propinsi.

b. Perencanaan kebutuhan obat kecuali obat PKD dan perbekalan kesehatan diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan pihak terkait dengan koordinasi yang efektif.

c. Perencanaan dan pengadaan obat pada sarana kesehatan mengacu pada DOEP, sedangkan pengadaan dan pelayanan obat di rumah sakit berdasarkan Daftar Obat Esensial Rumah Sakit (DOERS) dalam bentuk formularium rumah sakit.

d. DOEN merupakan rujukan dari DOEP, dan DOEP merupakan rujukan dari DOERS dalam bentuk formularium rumah sakit. Selama DOEP belum tersusun mengacu pada DOEN.

e. Pengadaan, produksi, dan distribusi obat dan perbekalan kesehatan diawasi dan dipantau oleh pemerintah.

f. Penyediaan buffer stock obat dan perbekalan kesehatan tertentu sesuai kebutuhan diutamakan untuk mengatasi kejadian luar biasa (KLB) dan ketersediaannya.

g. Obat dan perbekalan kesehatan yang sudah rusak, kadaluwarsa atau sudah tidak layak harus dimusnahkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Upaya pemerataan obat dan perbekalan kesehatan
Dalam bentuk pokok upaya pemerataan obat dan perbekalan kesehatan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
a. Pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan diselenggarakan secara berjenjang mulai dari produsen sampai dengan konsumen.

b. Penatalaksanaan pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang meliputi tata cara, sarana dan prasarana penunjang menjadi tanggung jawab dan diselenggarakan oleh pemerintah.

c. Penanggungjawab pengelolaan obat di UKM adalah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

3. Upaya pengawasan dan pengamanan mutu obat dan perbekalan kesehatan
Dalam bentuk pokok upaya pengawasan dan pengamanan mutu obat dan perbekalan kesehatan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah :

a. Pengawasan dan pengamanan mutu mulai dari proses produksi sampai dengan distribusi obat dan perbekalan kesehatan dilakukan oleh pemerintah dan organisasi profesi, didukung peran aktif masyarakat melalui sistem “Total Quality Assurance”.

b. Sarana pelayanan obat dan perbekalan kesehatan harus mempunyai fasilitas penyimpanan dan dikelola oleh tenaga sesuai persyaratan.

c. Pelayanan obat harus mengacu pada pedoman penggunaan obat yg rasional, diikuti dengan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE).

d. Pelayanan informasi efek samping obat dan perbekalan kesehatan termasuk keracunan dilaksanakan oleh jaringan SIKer Propinsi Jawa Timur.


4. Upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan napza
Dalam bentuk pokok upaya pencegahan dan penanggulangan napza, hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
a. Upaya promosi, surveilans, pengobatan dan rehabilitasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan Napza dilakukan oleh pemerintah berkoordinasi dengan badan yang menangani pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan napza, perguruan tinggi, organisasi profesi, dan masyarakat.

b. Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) dilakukan oleh pemerintah dan dikembangan sesuai kebutuhan.

5. Upaya pengembangan obat asli Indonesia
Dalam bentuk pokok upaya pengembangan obat asli Indonesia, hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
a. Penelitian dan pengembangan budi daya tanaman obat asli Indonesia dilaksanakan oleh pemerintah melalui peran aktif Balai Materia Medika bekerja sama dengan lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, institusi terkait, masyarakat dan pihak swasta.

b. Penelitian dan pengembangan pemanfaatan tanaman obat asli Indonesia dilaksanakan oleh pemerintah, Sentra P3T Jawa Timur bersama institusi terkait dan pihak swasta.

c. Obat asli Indonesia yang sudah terbukti secara ilmiah dapat dimasukkan dalam DOEP dan formularium rumah sakit (DOERS).




BAB VIII
SUBSISTEM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


Pengertian
Subsistem pemberdayaan masyarakat merupakan tatanan yang menghimpun berbagai upaya perorangan, kelompok dan masyarakat sebagai pelaku di bidang pembangunan kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Tujuan
Tujuan subsistem pemberdayaan masyarakat adalah terselenggaranya pemberdayaan masyarakat melalui kemitraan, kemandirian perorangan, kelompok dan masyarakat dalam bentuk pengabdian, advokasi, maupun pengawasan sosial dalam pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Unsur-unsur Utama
Subsistem pemberdayaan masyarakat terdiri atas tiga unsur utama, yakni :
1. Pemberdayaan perorangan merupakan upaya meningkatkan peran, fungsi, dan kemampuan perorangan dalam membuat keputusan untuk memelihara kesehatan, dimulai dari diri sendiri yakni mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang diteladani oleh anggota keluarga dan masyarakat sekitar, dan menjadi peserta jaminan pemeliharaan kesehatan dalam berbagai bentuk yang berkembang di masyarakat. Pada tahap selanjutnya individu mampu berperan aktif sebagai kader kesehatan dalam menggerakkan masyarakat agar berperilaku hidup bersih dan sehat serta menjadi penggerak bagi terbentuknya kelompok Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM).

2. Pemberdayaan kelompok merupakan upaya meningkatkan peran, fungsi, dan kemampuan kelompok-kelompok di masyarakat termasuk swasta sehingga dapat mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi dan dapat berperan aktif dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa program pengabdian, memperjuangkan kepentingan masyarakat di bidang kesehatan, serta melakukan pengawasan sosial terhadap pembangunan kesehatan. Pemberdayaan kelompok menghasilkan kelompok-kelompok peduli kesehatan antara lain: kelompok peduli kesehatan reproduksi remaja, peduli HIV/AIDS , anti merokok , anti aborsi , pengamanan pestisida , peduli lingkungan sehat , peduli autisme , kelompok pengobat tradisional, dana sehat, pos kesehatan pesantren, lembaga konsumen kesehatan , SBH serta bentuk UKBM lainnya. Kelompok kelompok ini menjadi jembatan informasi dan alih teknologi antara pemerintah - swasta dan masyarakat.

3. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya meningkatkan peran, fungsi, dan kemampuan masyarakat termasuk swasta sehingga dapat mengatasi masalah kesehatan dan kedaruratan terhadap bencana yang dihadapi dan dapat berperan aktif dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa program pengabdian, memperjuangkan kepentingan masyarakat di bidang kesehatan serta melakukan pengawasan sosial terhadap pembangunan kesehatan. Pemberdayaan masyarakat menghasilkan gerakan / kegiatan masyarakat yang mendukung program kesehatan antara lain : Poskesdes, Poskestren, Posyandu, Polindes, Gerakan Jumat Bersih, PSN, Program Kali Bersih dan lain sejenisnya. Gerakan tersebut selanjutnya membentuk Forum Kabupaten/Kota Sehat, Dewan Penyantun Kesehatan atau Badan Perwalian Kesehatan. Forum ini yang selanjutnya akan menyuarakan gagasan dan kehendak masyarakat sesuai pilihan dan kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan dalam suatu bentuk gerakan masyarakat yang terencana dan terkoordinasi dalam Desa Siaga.


D. Prinsip
Penyelenggaraan subsistem pemberdayaan masyarakat mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Berbasis pada tata nilai perorangan, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kebutuhan, sosial budaya, dan potensi setempat.

2. Pemerintah berperan sebagai fasilitator yang akuntabel dalam penyelenggaraan upaya kesehatan berbasis masyarakat.

3. Pendekatan edukatif untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, kemampuan dan kepedulian, serta peran aktif dalam berbagai upaya kesehatan utamanya dalam kesiagaan masyarakat untuk menanggulangi masalah kesehatan dan tanggap darurat bencana.

4. Meningkatkan akses untuk memperoleh informasi dan kesempatan mengemukakan pendapat, serta keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan kesehatan.

5. Menerapkan prinsip kemitraan berdasarkan semangat kebersamaan dan gotong royong yang terorganisasi dalam berbagai kelompok atau kelembagaan masyarakat.

6. Pemberian penghargaan kepada perorangan, kelompok, masyarakat maupun lembaga/institusi yang telah berjasa sebagai penggagas, pengabdi, dan penggerak pembangunan kesehatan untuk memantapkan pemberdayaan masyarakat.

E. Bentuk Pokok
1. Pemberdayaan Perorangan
Dalam bentuk pemberdayaan perorangan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
a. Meningkatkan peran individu sebagai pemrakarsa kegiatan di bidang kesehatan melalui bimbingan teknis.

b. Meningkatkan peran individu sebagai kader atau teladan melalui pembentukan pribadi dengan PHBS, sesuai dengan karakteristik budaya setempat dengan cara pendampingan.

c. Meningkatkan fungsi individu dalam menyuarakan kehendak masyarakat di bidang kesehatan dengan cara pendampingan oleh jajaran kesehatan di setiap jenjang secara berkesinambungan.

d. Meningkatkan kemampuan individu , yaitu tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh populer, tokoh adat, tokoh politik, dan tokoh swasta melalui pendekatan edukatif dalam bentuk pelatihan , sarasehan , lokakarya dan prinsip kemitraan

2. Pemberdayaan Kelompok
Dalam bentuk pemberdayaan kelompok, hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
a. Dilakukan atas prakarsa perorangan atau kelompok-kelompok yang ada di masyarakat termasuk swasta dan pemerintah dalam bentuk kelompok peduli kesehatan. Ditujukan kepada kelompok seperti : kelompok pengajian/persekutuan doa/kelompok agama yang lain, kelompok adat, kelompok budaya, kelompok seminat, kelompok sebaya, organisasi wanita, organisasi pemuda, dan organisasi profesi.

b. Terbentuk atas dukungan, dorongan maupun terinspirasi kelompok atau lembaga sejenis dan pembentukan opini publik yang dikembangkan melalui media massa dan didasarkan pada situasi kondisi sesuai budaya masyarakat setempat yang bisa didukung oleh survei atau jajak pendapat.
c. Pemberdayaan kelompok dapat dilakukan dalam wadah organisasi formal seperti yayasan, paguyuban sinoman arek suroboyo maupun nonformal seperti majelis taklim

d. Meningkatkan fungsi kelompok dalam menyuarakan kehendak masyarakat serta memilih/ menentukan kebutuhan masyarakat di
bidang kesehatan dengan cara pendampingan oleh jajaran kesehatan di setiap jenjang secara berkesinambungan

e. Pendampingan dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan kelompok melalui lokakarya atau sarasehan

3. Pemberdayaan Masyarakat
Dalam bentuk pemberdayaan kelompok, hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
Dilakukan atas prakarsa perorangan atau kelompok-kelompok yang ada di masyarakat termasuk institusi swasta dan pemerintah dalam bentuk gerakan masyarakat untuk berperan mendukung pembangunan kesehatan.
a. Terbentuk atas dorongan kelompok / forum masyarakat yang menginginkan perubahan dengan mengadopsi PHBS berupa gerakan / kegiatan yang rutin maupun insidental yang mencakup seluruh masyarakat di suatu wilayah

b. Meningkatkan fungsi masyarakat dalam menyuarakan kehendak masyarakat serta memilih/ menentukan kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan dan kedaruratan bencana.

c. Pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui pembentukan wadah perwakilan masyarakat peduli kesehatan , berupa : Forum Masyarakat Desa, Badan Penyantun Puskesmas , Forum atau Koalisi Kabupaten / Kota Sehat.

d. Pendampingan dapat dilakukan oleh jajaran kesehatan , instansi pemerintah terkait dan kelompok peduli kesehatan di setiap jenjang untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui penyuluhan massa, lokakarya atau sarasehan


BAB IX
SUBSISTEM MANAJEMEN KESEHATAN


A. Pengertian
Subsistem manajemen kesehatan merupakan bagian dari administrasi kesehatan, sistem informasi kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, serta hukum kesehatan secara terpadu, guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

B. Tujuan
Terselenggaranya fungsi manajemen kesehatan yang mendukung subsistem lain secara berhasil guna dan berdaya guna untuk terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

C. Unsur-unsur Utama
Subsistem manajemen kesehatan terdiri atas empat unsur utama, yakni :
1. Administrasi kesehatan yang dijabarkan melalui fungsi manajemen yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, evaluasi dan pertanggungjawaban penyelenggaraan pembangunan kesehatan.

2. Informasi kesehatan merupakan hasil pengumpulan dan pengolahan data yang menjadi masukan bagi pengambilan keputusan di bidang kesehatan.

3. Ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan merupakan hasil penelitian dan pengembangan yang menjadi masukan bagi pengambilan keputusan di bidang kesehatan.

4. Hukum kesehatan merupakan peraturan perundang-undangan kesehatan yang dipakai sebagai acuan bagi penyelenggaraan pembangunan kesehatan.

D. Prinsip
Dalam prinsip administrasi kesehatan, hal-hal yang harus diperhatikan meliputi :
Penyelenggaraan subsistem manajemen kesehatan mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Administrasi Kesehatan
a. Propinsi sebagai wilayah administrasi melaksanakan kewenangan tertentu di bidang kesehatan yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan melaksanakan kewenangan sebagai daerah otonom serta kewenangan lain yang tidak dapat diselenggarakan oleh kabupaten/kota dengan berpedoman pada asas dan kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan sebagai bagian dari NKRI.

b. Diselenggarakan dengan memperhatikan hubungan administrasi, koordinasi, sesuai dengan kewenangan berbagai sektor dan institusi kesehatan lain di berbagai jenjang administrasi pemerintahan.

c. Administrasi kesehatan diselenggarakan dengan mengupayakan kejelasan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab antar unit kesehatan dalam satu jenjang yang sama dan di berbagai jenjang administrasi pemerintahan.

2. Informasi Kesehatan
Dalam prinsip informasi kesehatan, hal-hal yang harus diperhatikan meliputi :
1. Informasi kesehatan mencakup seluruh kondisi/keadaan yang terkait dengan masalah kesehatan untuk mendukung suatu pengambilan keputusan.

2. Informasi kesehatan yang disediakan harus akurat dan disajikan secara cepat, tepat waktu, mutakhir dan mudah diakses dengan mendayagunakan teknologi informasi dan komunikasi.

3. Akses terhadap informasi kesehatan tertentu harus memperhatikan aspek kerahasiaan yang berlaku di bidang kesehatan dan kedokteran.

3. IPTEK Kesehatan
Pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan adalah untuk kepentingan masyarakat dan tidak boleh bertentangan dengan kaidah ilmiah, etika dan moral.

4. Hukum Kesehatan
Pengembangan hukum kesehatan diarahkan untuk terwujudnya sistem hukum kesehatan yang mencakup pengembangan substansi hukum, kultur dan budaya hukum serta aparatur hukum kesehatan.

E. Bentuk Pokok
1. Administrasi Kesehatan
Dalam bentuk pokok administrasi kesehatan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah :

a. Kewenangan Propinsi Jawa Timur sebagai wilayah administrasi adalah melaksanakan kewenangan tertentu di bidang kesehatan yang dilimpahkan kepada Gubernur Jawa Timur sebagai wakil pemerintah pusat, melaksanakan kewenangan sebagai daerah otonom dan atau kewenangan lain yang tidak dapat diselenggarakan oleh kabupaten/kota.

b. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur sebagai instansi kesehatan tertinggi dalam satu wilayah administrasi propinsi adalah penanggung jawab administrasi kesehatan di tingkat propinsi sesuai dengan kewenangannya.

c. Dinas Kesehatan Propinsi berhubungan secara teknis fungsional dengan Depkes RI dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan sebaliknya, serta dengan penyelenggara pelayanan kesehatan lain di Propinsi Jawa Timur.

d. Dinas Kesehatan Propinsi melaksanakan kewenangan yang berasal dari tugas dekonsentrasi bidang kesehatan dengan fungsi perumusan kebijakan teknis bidang kesehatan, pemberian perizinan, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan, serta pembinaan dan bantuan teknis terhadap Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Di samping itu, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota juga melakukan kewenangan desentralisasi di bidang kesehatan yang penyelenggaraannya melalui UPT Dinas Kesehatan Propinsi dan kewenangan lain yang tidak dapat diselenggarakan oleh kabupaten/kota.

e. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaksanakan kewenangan desentralisasi di bidang kesehatan, dengan melaksanakan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan/atau propinsi yang dirumuskan dalam kebijakan kabupaten/kota, pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan kesehatan, serta pembinaan terhadap unit pelaksaksana teknis daerah (UPTD) kesehatan.

f. Dinas Kesehatan Propinsi melakukan fungsi kesehatan tertentu yang penyelenggaraannya oleh UPT dan fungsi kesehatan lain yang tidak dapat diselenggarakan oleh Kabupaten/Kota.

g. Perencanaan kesehatan propinsi diselenggarakan dengan menetapkan kebijakan pembangunan kesehatan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek mengacu pada kesepakatan global, regional, kebijakan nasional dan memperhatikan kondisi spesifik daerah, kewenangan wajib, SPM bidang kesehatan melalui sinkronisasi dan koordinasi dengan kabupaten/kota dan unit terkait.

h. Pelaksanaan dan pengendalian pembangunan kesehatan di propinsi mengacu kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan dan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

i. Pengawasan pembangunan kesehatan dilakukan dengan mengoptimalkan pengawasan melekat, koordinasi dengan aparatur pengawasan fungsional dan memanfaatkan pengawasan oleh masyarakat.

j. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan desentralisasi kabupaten/kota wajib membuat dan mengirimkan laporan pelaksanaan dan hasil pembangunan kesehatan kepada propinsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

k. Dinas Kesehatan Propinsi wajib melakukan evaluasi, membuat dan mengirimkan laporan pelaksanaan dan hasil pembangunan kesehatan kepada Gubernur dan Menteri Kesehatan, serta memberikan umpan balik kepada kabupaten/kota.

l. Pertanggungjawaban pembangunan kesehatan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan diupayakan dapat bermanfaat bagi masyarakat.

2. Informasi Kesehatan
Dalam bentuk pokok informasi kesehatan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
a. Sistem informasi kesehatan propinsi dikembangkan untuk mendukung keberhasilan pembangunan kesehatan sesuai dengan indikator kesehatan yang telah ditetapkan, dengan memadukan sistem informasi kesehatan kabupaten/kota dan sistem informasi lain yang terkait serta memanfaatkan teknologi informasi.

b. Sumber data kesehatan diperoleh dari pencatatan dan pelaporan, survei/penelitian dan sumber lain.

c. Pengolahan dan analisis data diselenggarakan secara berjenjang, terpadu, multidisipliner, dan komprehensif. Penyajian informasi melalui berbagai media dan dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan.

3. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kesehatan
Dalam bentuk pokok ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
a. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan informasi dan mendukung program pembangunan kesehatan.

b. Pengembangan IPTEK dilakukan melalui penelitian untuk mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan dan meningkatkan fungsi unit-unit fungsional (Sentra P3T, Balai Materia Medika, dll).

c. Dinas Kesehatan Propinsi mengkoordinasikan kegiatan penelitian dan pengembangan kesehatan berlandaskan pada iptek.

d. Penyebarluasan hasil penelitian kesehatan dilakukan melalui jaringan penelitian dan pengembangan kesehatan daerah (jarlitbangkesda) serta berbagai media.



4. Hukum Kesehatan
Dalam bentuk pokok hukum kesehatan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
a. Advokasi penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan mengacu pada pengembangan hukum kesehatan secara nasional dan kebutuhan pembangunan kesehatan.

b. Sosialisasi peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan dilaksanakan untuk mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan di daerah.

c. Inventarisasi peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan dikembangkan melalui jaringan informasi dan dokumentasi hukum kesehatan.

d. Penegakan hukum kesehatan dengan didukung suatu unit kerja yang siap untuk membantu pelaksanaan regulasi dan perlindungan hukum, baik bagi tenaga kesehatan maupun masyarakat pengguna pelayanan kesehatan.




BAB X
PENYELENGGARAAN SISTEM KESEHATAN PROPINSI JAWA TIMUR


A. Pelaku Sistem Kesehatan Propinsi
Pelaku penyelenggaraan pembangunan kesehatan sesuai dengan SKP adalah:

1. Masyarakat, yang meliputi tokoh masyarakat, masyarakat madani, lembaga swadaya masyarakat, media massa, organisasi profesi, akademisi, para pakar, serta masyarakat luas termasuk swasta, yang berperan dalam advokasi, pengawasan sosial, dan penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan kemampuan masing-masing.

2. Pemerintah, baik pemerintah propinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota yang berperan sebagai penanggung jawab, penggerak, pembina, dan pelaksana pembangunan kesehatan dalam lingkup wilayah kerja dan kewenangan masing-masing. Untuk pemerintah propinsi peranan tersebut ditambah dengan menetapkan kebijakan, standar, dan pedoman pembangunan kesehatan dalam lingkup propinsi/regional, yang dipakai acuan dalam menyelenggarakan pembangunan kesehatan daerah.

3. Badan legislatif, baik di propinsi maupun di daerah, yang berperan melakukan persetujuan anggaran dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pembangunan kesehatan, melalui penyusunan produk-produk hukum dan mekanisme kemitraan antara eksekutif dan legislatif.

4. Badan yudikatif, yang berperan menegakkan pelaksanaan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kesehatan.

B. Proses Penyelenggaraan
1. Penyelenggaraan SKP menerapkan pendekatan kesisteman, yakni cara berpikir dan bertindak yang logis, sistematis, komprehensif, dan holistik dalam menyelenggarakan pembangunan kesehatan. Pendekatan
kesisteman tersebut menuntut perlunya pemahaman tentang unsur-unsur sistem serta keterkaitannya satu sama lain, sebagai berikut :
a. Masukan
Unsur masukan dalam SKP adalah subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem sumberdaya manusia kesehatan, dan subsistem obat dan perbekalan kesehatan.

b. Proses
Unsur proses dalam SKP adalah subsistem upaya kesehatan, subsistem permberdayaan masyarakat, dan subsistem manajemen kesehatan.

c. Keluaran
Unsur keluaran dalam SKP adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan yang berhasil-guna, berdaya-guna, bermutu, merata, dan berkeadilan.

d. Lingkungan
Unsur lingkungan dalam SKP adalah berbagai keadaan yang menyangkut ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan baik nasional, regional, maupun global yang berdampak terhadap pembangunan kesehatan.

2. Penyelenggaraan SKP memerlukan keterkaitan antar unsur-unsur SKP. Keterkaitan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Subsistem pembiayaan kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan ketersediaan pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil-guna dan berdaya-guna, sehingga upaya kesehatan, baik upaya kesehatan masyarakat maupun upaya kesehatan perorangan dapat diselenggarakan secara merata, tercapai, terjangkau, dan bermutu bagi seluruh masyarakat. Tersedianya pembiayaan yang memadai juga akan menunjang terselenggaranya subsistem sumberdaya manusia kesehatan, subsistem obat dan perbekalan kesehatan, subsistem pemberdayaan masyarakat, serta subsistem manajemen kesehatan.

b. Subsistem suberdaya manusia kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan tenaga kesehatan yang bermutu dalam jumlah yang mencukupi, terdistribusi secara adil, serta termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna, sehingga upaya kesehatan dapat diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Tersedianya tenaga kesehatan yang mencukupi dan berkualitas juga akan menunjang terselenggaranya subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem obat dan perbekalan kesehatan, subsistem pemberdayaan masyarakat, serta subsistem manajemen kesehatan.

c. Subsistem obat dan perbekalan kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan yang mencukupi, aman, bermutu, dan bermanfaat serta terjangkau oleh masyarakat, sehingga upaya kesehatan dapat diselenggarakan dengan berhasil guna dan berdaya guna.

d. Subsistem perberdayaan masyarakat diselenggarakan guna menghasilkan individu, kelompok, dan masyarakat umum yang mampu berperan aktif dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Masyarakat yang berdaya akan berperan aktif dalam penyelenggaraan subsistem upaya kesehatan, subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem sumberdaya manusia kesehatan, subsistem obat dan perbekalan kesehatan, serta subsistem manajemen kesehatan.

e. Subsistem manajemen kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan fungsi-fungsi administrasi kesehatan, informasi kesehatan, IPTEK Kesehatan, dan hukum kesehatan yang memadai dan mampu menunjang penyelenggaraan upaya kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna. Dengan manajemen kesehatan yang berhasil guna dan berdaya guna dapat diselenggarakan subsistem upaya kesehatan, subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem sumberdaya manusia kesehatan, subsistem obat dan perbekalan kesehatan, serta subsistem permberdayaan masyarakat, sebagai suatu kesatuan yang terpadu dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

3. Penyelenggaraan SKP memerlukan penerapan prinsip Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, dan Sinergisme (KISS), baik antar pelaku, antar subsistem SKP, maupun dengan sistem serta subsistem lain di luar SKP.

4. Penyelenggaraan SKP memerlukan komitmen yang tinggi dan dukungan serta kerjasama yang baik dari para pelaku SKP yang ditunjang oleh tata penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang baik sesuai dengan prinsip kepemerintahan yang baik (good governance)

5. Penyelenggaraan SKP memerlukan adanya kepastian hukum dalam bentuk penetapan berbagai peraturan perundang-undangan yang sesuai.

6. Penyelenggaraan SKP dilakukan melalui siklus perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian, serta pengawasan dan pertanggungjawaban secara sistematis, berjenjang, dan berkelanjutan.

C. Tahap Penyelenggaraan
Penyelenggaraan SKP dilaksanakan secara bertahap oleh para pelaku SKP. Penyelenggaraan di daerah disesuaikan dengan aspirasi, potensi, serta kebutuhan setempat, dengan memperhatikan prioritas pembangunan kesehatan masing-masing. Pentahapan penyelenggaraan SKP adalah sebagai berikut:
1. Penetapan SKP
Untuk memperoleh kepastian hukum yang mengikat semua pihak, SKP perlu dikukuhkan dengan peraturan perundang-undangan

2. Advokasi dan Sosialisasi SKP
a. Untuk diperolehnya komitmen dan dukungan dari semua pihak, SKP perlu diadvokasikan dan disosialisasikan.
b. Sasaran advokasi SKP adalah semua penentu kebijakan, baik di propinsi maupun daerah.
c. Sasaran sosialisasi adalah semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pembangunan kesehatan, terutama masyarakat termasuk swasta.

3. Fasilitasi dan Pelaksanaan SKP dan SKK
a. Untuk terselenggaranya pembangunan kesehatan di daerah perlu dikembangkan Sistem Kesehatan Kabupaten/Kota (SKK) dengan mengacu pada SKP dan mempertimbangkan kondisi, dinamika, dan masalah spesifik daerah.
b. Pelaksanaan SKP dan SKK diwujudkan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, baik secara regional maupun dalam lingkup daerah.
c. Pelaksanaan SKP dan SKK diselenggarakan melalui penataan ulang keenam subsistemnya secara bertahap, sistematis, terpadu, dan berkelanjutan.
d. Pelaksanaan SKP dan SKK didukung dengan penyusunan kebijakan, standar, dan pedoman dalam bentuk berbagai peraturan perundangan.
e. Pelaksanaan SKP dan SKK diselenggarakan sesuai dengan asas desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. Pengendalian SKP dan SKK
a. Pengendalian SKP dan SKK bertujuan untuk memantau dan menilai keberhasilan penyelenggaraan pembangunan kesehatan berdasarkan SKP dan SKK.
b. Pengendalian SKP dan SKK diselenggarakan secara berjenjang dan berkelanjutan dengan menggunakan tolok ukur keberhasilan pembangunan kesehatan, baik tingkat propinsi maupun tingkat daerah.
c. Untuk keberhasilan pengendalian SKP dan SKK perlu dikembangkan sistem informasi kesehatan propinsi dan daerah yang terpadu.




BAB XI PENUTUP

Sistem kesehatan Propinsi (SKP) digunakan sebagai dasar dan acuan dalam penyusunan berbagai kebijakan, pedoman, dan arahan penyelenggaraan pembangunan kesehatan serta pembangunan berwawasan kesehatan di Propinsi Jawa Timur.
SKP merupakan sistem terbuka , berinteraksi dengan berbagai sistem nasional dan regional lainnya, bersifat dinamis dan selalu mengikuti perkembangan.
Keberhasilan pelaksanaan SKP ini sangat bergantung pada semangat, dedikasi, ketekunan, kerja keras, kemampuan, kerja sama dan ketulusan para penyelenggara serta petunjuk, rahmat dan perlindungan Tuhan Yang Maha Kuasa.

0 komentar: