Saat Jatuh itu memang berat
Dalam menjalani kehidupan ini memang penuh dengan berbagai percobaan.
Sebagai manusia, tentu kita semua, tanpa terkecuali, pernah mengalami dan merasakan sakitnya “jatuh”. Walau mungkin tak mengalami “jatuh” dalam artian baku, tapi kita tentu pernah mengalami hal-hal yang mirip dengan “jatuh”, yakni gagal, kalah, duka, celaka, sedih, dan lain sebagainya.
motivasi saat sedang jatuh, gagal dan terpuruk Suatu ketika saya melihat beberapa anak kecil yang tanpa mengenal takut, dan seolah tak peduli resiko, nekat memanjat tiang lampu lalu lintas di jalan yang saya lintasi. Ketika saya melihat itu, secara spontan saya ingin mengingatkan mereka agar segera turun dari tiang lampu itu. Tapi di dalam hati, saya berkata, “Ah, buat apa diingatkan, mereka tentu tetap nekat memanjat meski telah saya ingatkan, satu-satunya yang dapat mengingatkan mereka adalah “jatuh”. Akhirnya niat saya untuk mengingatkan mereka saya urungkan. Setelah kejadian itu, saya baru menyadari, betapa saya tak mengetahui bahwa Tuhan telah lama melatih kita untuk menghadapi “jatuh”.
Bukankah sejak kecil kita sudah membiasakan diri untuk menghadapi resiko “jatuh”, yaitu semenjak kita bersedia untuk belajar merambat, merangkak dan kemudian berdiri. Hingga kita dewasa, semestinya kita tak melupakan berbagai pelajaran yang kita dapat saat kita mulai belajar berjalan, dan membiasakan diri untuk menghadapi resiko jatuh di waktu kita kecil itu. Sering kali kita merasa bingung, panik, dan seolah tak tahu apa yang harus dilakukan ketika jatuh, sedih, gagal, kalah, berduka, dan sebagainya. Kita lupa bahwa ketika kita dalam keadaan tersebut, satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah bangkit dan berdiri kembali. Karena kita terlanjur panik dan tak bermental untuk menghadapi keadaan tersebut. Coba bayangkan, bagaimana jadinya orang yang jatuh dari sepeda motor jika malas untuk bangkit.
Jatuh dan bangkit kembali, gagal dan berhasil, sedih dan bahagia merupakan isi dari satu set “rantang kehidupan” yang dikirimkan Tuhan kepada kita semua. Sehingga menurut saya, peristiwa kecelakaan lalu lintas, bencana alam, dan jatuh sakit tak tepat kita sebut sebagai “kecelakaan”, tapi lebih pantas kita sebut sebagai “cobaan”, yang juga termasuk isi dari “rantang kehidupan” Tuhan. Karena “kecelakaan” hanya mungkin dapat dialami di hari nanti, yakni hari kiamat.
Kembali pada pembahasan “rantang kehidupan”. Suatu ketika kita mungkin terlebih dahulu akan membuka “rantang” yang berisi kegagalan, jatuh, duka, dan kekalahan. Namun di saat lain, tentu kita dapat membuka “rantang” yang berisi keberhasilan, kebangkitan, suka cita, dan kemenangan. Berarti satu-satunya hal yang perlu, bahkan harus kita persiapkan adalah mental dan batin untuk menerima masing-masing “rantang” tersebut. Bagaimana caranya kita tak terbuai, dan dimabuk kepayang saat membuka “rantang” yang berisi keberhasilan, kesuksesan, suka cita, dan kemenangan. Dan bagaimana caranya kita dapat bersabar dan legawa untuk menerima “rantang” yang berisi kegagalan, jatuh, duka, dan kekalahan.
Mulai detik ini saatnya kita mulai mengingat-ingat kembali pelajaran masa kecil kita, di mana kita telah terbiasa merasakan jatuh dan bangkit. Dan kembali mengenakan “jubah” mental baja yang sempat kita pakai di masa kita kecil dulu, sebagai pertahanan kita untuk siap menghadapi resiko jatuh. Dan bersiap untuk menyantap hidangan yang telah disediakan Tuhan dalam satu set “rantang kehidupan”-Nya. Semoga Tuhan selalu mengulurkan bantuan untuk sandaran bangkit di saat kita dalam keadaan “jatuh”.
0 komentar:
Post a Comment